Halaman

Powered By Blogger

Minggu, 18 Desember 2011

ANALISIS NOVEL KHOTBAH DI ATAS BUKIT BERDASARKAN UNSUR INTRINSIK



Oleh Kelompok 8        : 1. Melisa                                  (06101002001)
                                     2. Diko Harjuni Tanera           (06101002019)           
                                     3. Eko Satria Ramadan           (06101002032)
                                     4. Eka Novirna                        (06101002033)
                                     5. Dina Ariani                         (06101002035)
                         6. Ellda                                    (06101002040) 

  1. Tema
            Tema, menurut Stanton dan Kenny, adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tetapi ada banyak makna yang terkandung dalam cerita tersebut sehingga diperlukan analisis terhadap tema-tema yang menjadi tema mayor maupun tema minor.
            Tema mayor merupakan tema atau makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum karya itu. Sedangkan tema minor merupakan makna-makna tambahan yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu dalam cerita.
            Tema mayor yang terkandung dalam novel “Khotbah di Atas Bukit” karya Kuntowijoyo adalah tentang pencarian ketenangan hidup yang hakiki mengenai kebebasan yang dianggap telah dibelenggu oleh kebosanan seperti pikiran, ingatan dan cita-cita yang membuat hidup tokoh menjadi menderita. Pengarang menggambarkan tema melalui tokoh utama Barman, seorang kakek tua, seorang pensiunan yang mengasingkan diri ke villa di pegunungan bersama seorang wanita cantik untuk menjalani kehidupan yang tenang. Sebuah kehidupan yang jauh dari proses berpikir, bekerja dan hiruk pikuk keramaian kota. Barman memang sudah harus berjauhan dengan aktivitas kesibukan yang dulu pernah ia jalani sebagai seorang pegawai negeri.
“Ia tahu benar, hidupnya yang sekarang ini dibangun atas dasar bukan pikiran. Ia sudah memutuskan bahwa pikiran, ingatan, cita-cita telah membuatnya menderita selama ini, membuatnya bosan. Dan itu telah dilakukannya. Barman selalu mengeluh karena ia tak mau menerima hidup sebagaimana harus dijalani.” (hlm.100)
            Tema minor yang terkandung dalam cerita ini banyak sekali. Tetapi penulis hanya memberikan beberapa contoh kutipan cerita yang menggambarkan tema minor yang terdapat dalam cerita ini.
“Keinginannya agar anak itu tak terganggu pertumbuhan jiwanya mencegahnya mencari istri baru. Selalu ia memandang potret mami Bobi dan menunjukkan pada anak itu betapa ia masih selalu terkenang pada istrinya. “Inilah ibumu, Nak.” Bahkan pada perempuan yang dibawanya masuk ke kamar, ia bisa mengatakan: “inilah istriku, cintaku.” Dan potret perempuan hitam di dinding itu tetap tak tersentuh bagaimana pun keadaannya.” (hlm.8)
            Kutipan di atas menunjukkan tema minor yang menceritakan tentang betapa besarnya cinta Barman kepada almarhumah istrinya dan Bobi, anaknya. Sejak Bobi masih kecil sepeninggal istrinya, Barman tak pernah mau menikah lagi karena ia tak ingin perkembangan jiwa Bobi terganggu dan juga disebabkan rasa cintanya yang begitu besar terhadap almarhumah istrinya.
            Tema minor lain yang dapat kita lihat seperti kutipan di bawah ini.
“Keinginannya untuk mmenemui Humam tak dapat ditahan lagi. Dialah satu-satunya yang dapat diajak berbicara di tengah perbukitan ini. Sekali pun ia telah bergaul dengan orang itu beberapa hari yang lalu, berjalan bersama, memancing bersama, Humam masih tetap merupakan teka-teki baginya. Orang itu selalu memancing kegelisahannya, menggodanya untuk berpikir, tetapi ia pun tahu, bahwa ia tak dapat lagi melepaskan diri dari laki-laki itu.”
            Cuplikan cerita di atas menunjukkan tema minor mengenai rasa penasaran Barman terhadap Humam. Walaupun mereka telah bergaul, berjalan bersama, memancing bersama, tetap saja Humam masih merupakan sebuah misteri yang meninggalkan tanda tanya pada diri Barman. Ia selalu ingin tahu apa yang terdapat dalam diri Humam sebenarnya. Rasa penasarannya yang tinggi selalu memanggilnya untuk terus mengunjungi dan kembali lagi memasuki rumah Humam.

  1. Plot
            Stanton (1965:14) mengemukakan bahwa plot  adalah cerita yang berisi urutan kejadian , namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Plot ini dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan sikap-sikap tokoh utama cerita. Kisah yang menunjukkan bahwa peristiwa satu menyebabkann terjadinya peristiwa lain yaitu sejak kematian istrinya, Barman merasa kehilangan sehingga ia mencari kebahagiaan yanng mungkin didapatkannya dari wanita-wanita lain.
1.      Peristiwa, konflik, dan klimaks
a.       Peristiwa
        Peristiwa dalam cerita ini ditandai dengan kejadian-kejadian yang dialami oleh tokoh. Peristiwa ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu peritiwa fungsional, peritiwa kaitan dan peristiwa acuan. Peristiwa fungsional merupakan peristiwa yang dapat memppengaruhi plot. Peristiwa kaitan merupakan peristiwa-peristiwa yang tidak mempengaruhi perkembangan plot, berfungsi untuk mengaitkan peristiwa fungsional dalam menyajikan urutan cerita. Sedangkan peristiwa acuan merupakan peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan plot melainkan mengacu pada unsur-unsur lain.
        Peristiwa fungsional dalam hal ini akan dibahas pada bahasan plot sehingga penulis hanya akan membahas mengenai peristiwa kaitan dan peristiwa acuan. Peristiwa kaitan dalam novel ini dapat kita lihat pada cuplikan cerita berikut ini.
“Tiba-tiba Popi berada di atas kepalanya. Bau parfum dan bunga. Perempuan itu menyibak daunan yang menutupinya. Dalam menjongkok, Barman melihat dengan jelas, tepat di hidungnya, betis, telapak dan sandal Popi. Ia bahkan kegirangan dengan pemandangan itu. Sepasang kaki yang indah. Matanya  tak terpejam.” (hlm.45)
        Peristiwa yang menggambarkan peristiwa acuan seperti petikan cerita di bawah ini.
“Suara halus itu menyentuh telinganya. Lebih hebat dari kicau burung di pohon, terasa sampai hatinya. Ia tersenyum dengan mainan itu. Kembali ia bunyikan mulutnya: “Lu-lu-lu!” sesungguhnya Popi telah dekat benar. Maka ia merangkak pelan ke arah yang lain. Daun-daun bergerak, sepatunya lengket dengan tanah, dan beberapa duri malahan menyentuh kulitnya sebelah dalam. Kulit itu terasa gatal. Ia berhenti untuk menggaruk. Ada bagian baju yang keluar benangnya. Selembar daun kuning jatuh di pundak, menggelitik leher dan di hempasnya.” (hlm.45)
b.      Konflik
        Konflik adalah peristiwa-peristiwa yang muncul akibat tingkah laku tokoh yang membuat pergolakan antara dirinya dengan lingkungan, tokoh lain atau dirinya sendiri. Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek dan Warren dikutip Nurgiantoro, 2010:122)
        Konflik-konflik yang terjadi dalam cerita ini adalah konflik batin yang dialami oleh Barman terhadap kebutuhan rohaninya. Sejak bertemu dengan Humam, ia selalu mempertanyakan kebutuhan rohaninya yang selama ini belum terpenuhi karena masa lalunya yang selalu dekat dengan wanita dan pemuasan kebutuhan biologis dan ekonomis. Terdapat pula konflik-konflik tambahan seperti ketika Barman pada awalnya menolak tawaran Bobi untuk tinggal di gunung. Selain itu, konflik tambahan dapat juga dilihat pada bagian Popi yang mengalami konflik batin sebagai seorang mantan pekerja seks komersil yang ingin menyucikan diri dengan berpasangan dan melayani kehidupan Barman tua.

c.       Klimaks
        Klimaks merupakan kejadian puncak yang tidak ada lagi kejadian puncak yang menegangkan selain klimaks. Klimaks merupakan titik puncak konflik-konflik yang terjadi. Stanton (dikutip Nurgiantoro, 2010:127) mengatakan bahwa klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang paling tidak dapat dihindari kejadiannya.
        Klimaks yang terjadi pada novel “Khotbah di Atas Bukit” ini adalah ketika Barman yang telah merasa kehilangan sejak meninggalnya sahabat tuanya itu, Humam, semakin sering merasa terasing. Tetapi dengan perasaan itu ia masih terganggu. Untuk itu ia melakukan khotbah pada suatu hari di atas sebuah bukit yang akhirnya diputuskan Kuntowijoyo menjadi judul bagi novel ini. Dapat kita lihat pada petikan cerita berikut,
“Ini khotbahku,” katanya. Puncak itu hening. Suara angin yang meniup pakaian-pakaian, pohon dan barangkali rumput yang menggeliat. Tidak ada gerak-gerak. Kaki-kaki terpaku. Mulut bungkam. Dan kuda putih itu berdiri tegap, menahan tubuh Barman....”Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan!” Kalimat itu diucapkan dengan hampir menjerit. Sebuah teriakan, laki-laki tua yang serak dan menyayat. Orang-orang terpukau.... “Bunuhlah dirimu!” seru Barman. Bunuhlah dirimu. Mereka mengulang dalam batin. Kabut itu menebal, mereka lupa di mana sekarang mereka berdiri.” (hlm.232-233)
        Setelah berkhotbah itu Barman terjatuh ke dalam jurang karena kabut tebal yang menutupinya itu tak memberikan peluang Barman dan yang lainnya untuk melihat. Barman terjatuh dan meninggal. Seperti yang digambarkan dalan cerita berikut,
“Tiba-tiba mereka berhenti. Kabut itu tersibak oleh angin. Dan remang-remang menjelma. Ada ringkik kuda yang dahsyat. Kemudian seolah kuda terbang. Suara kemerosok ke bawah. Mereka tercengan. Menggosok-gosok mata yang memedas. Penjaga malam itu berteriak: “O, ke manakah, Bapak!” mereka menyadari Barman dan kuda itu tak ada lagi. Sekilas mereka mengenangkan kuda putih yang terbang. Dan kabut itu pun kembali.” (hlm. 234)
Dengan kepergian Barman, semua orang bersedih. Mereka merasa kehilangan sosok yang  begitu mereka kagumi. Sosok yang mereka panuti dan keberadaannya sangat dinanti. Stelah kepergian Barman, semua orang membuat persepsi yang salah terhadap kematian Barman. Ia terjatuh, bukan bunuh diri. Tetapi banyak yang mengira bahwa ia bunuh diri. Mereka mengikuti Barman dengan cara bunuh diri.

2.      Ditinjau dari pembedaan plot
a.       Pembedaan plot berdasarkan kriteria urutan waktu
        Plot pada novel Khotbah Di Atas Bukit  ini berdasarkan kriteria urutan waktu menggunakan plot campuran. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam novel ini berawal ketika Barman sudah tinggal di villa dan sedang menikmati kebersamaannya dengan Popi. Kemudian terjadi alur mundur yaitu pengarang mengisahkan tentang mengapa Barman bisa tinggal bersama Popi di gunung. Seperti yang ditunjukkan pada kutipan berikut,
 “Anak itu, pada suatu siang datang padanya membawa pikiran yang bagus....”Untuk apa umur habis di kota. Berliburlah, melanconglah ke gunung. Rumah kita di gunung itu, bukankah punya Papi ?” Mulanya ia akan menolak. Untuk apa pergi ke gunung kalau maksudnya menghilangkan kesunyian ?.”Lalu terjadi alur maju kembali, yaitu penceritaan tentang proses perkenalan Barman dengan Popi, perjalanannya menuju Villa, tentang kehidupannya bersama Popi disana, dan kemudian pertemuannya dengan Humam yang meninggal dunia disusul oleh kematian tokoh utama yaitu Barman. (hlm.3)
b.      Pembedaan plot berdasarkan ktiteria jumlah
        Berdasarkan kriteria jumlah novel Khotbah Di Atas Bukit ini menggunakan plot Sub-subplot. Dalam novel ini memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapi.
Kisahan perjalanan hidup dapat dilihat pada petikan berikut ini.
Barman memulai lagi pembicaraannya. “Pop,” katanya. “seperti engkau juga aku ingin meninggalkan masa lalu. Persis burung itu meninggalkan jejaknya. Tidak berbekas sama sekali. Setidaknya begitulah maksudku.” Matahari sudah meninggalkan siang. “mereka selalu memandang ke depan. Tidak ke belakang. Sejarah adalah tabu bagi mereka, lalu begitu saja. Tetapi cukupkah itu, Pop?” mereka terdiam. “kalau engkau tak setuju dengan pembicaraan kita, katakanlah. Barangkali engkau bosan.” (hlm.33)
Kisahan permasalahan dapat kita lihat pada cerita di bawah ini.
“Ia tahu benar, hidupnya yang sekarang ini dibangun atas dasar bukan pikiran. Ia sudah memutuskan bahwa pikiran, ingatan, cita-cita telah membuatnya menderita selama ini, membuatnya bosan. Dan itu telah dilakukannya. Barman selalu mengeluh karena ia tak mau menerima hidup sebagaimana harus dijalani.”(hlm.100)
Kisahan konflik dapat kita lihat pada cuplikan cerita berikut ini.
“Sama seperti ketika pada suatu musim libur Bobi menemukannya bercumbu dengan seorang berambut pirang , dan buru-buru ia berkata, “ Bob, anggaplah ia mamimu.” Bobi waktu itu menanyakan siapa perempuan itu dalam bahasa Indonesia hingga perempuan yang dibawanya itu menanyakan padanya apakah yang dikatakan anak itu.” (hlm.8)

  1. Tokoh
            Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita ada tokoh utama dan ada tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama dalam cerita adalah tokoh pertama sedangkan tokoh kedua dalam cerita adalah tokoh tambahan yang menunjang peran tokoh-tokoh utama.
            Dalam novel “Khotbah di Atas Bukit”, tokoh di analisis berdasarkan tingkat pentingnya tokoh dalam cerita. Pembedaan tokoh utama dan tokoh tambahan bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat yaitu : tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambahan (yang memang) tambahan. Tokoh utama (yang) utama dalam cerita ini adalah Barman. Dengan Popi sebagai tokoh utama tambahan melalui pertimbangan intensitas kemunculan tokoh Popi cenderung tinggi disamping kisah tokoh utama  Barman. Selain itu yang juga sebagai utama tambahan ialah tokoh Humam, ini dilihat dari sangat berpengaruhnya peran tokoh Humam terhadap kehidupan tokkoh utama cerita yaitu Barman menuju perubahan yang di alami sang tokoh utama. Dapat ditarik kesimpulan tokoh tambahan utama berpengaruh terhadap plot cerita. Sedangkan tokoh tambahan (yang memang) tambahan dalam cerita ini meliputi Bobi, Dosi, dan juga tTukang Sapu.

  1. Penokohan
            Penokohan adalah cara yang digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan keadaan tokoh (Dikutip Nurgiantoro dalam Jones, 2010:165). Tokoh utama dalam novel ini adalah Barman, seseorang yang sangat tua dan ingin mencari ketenangan serta kebahagiaan hidup yang sudah lama hilang sejak kepergian istrinya. Ia mencari ketenangan di villa yang berada di pegunungan atas saran Bobi, anaknya. Selain itu pengarang menggambarkan tokoh Barman sebagai seorang yang kesepian dan membutuhkan perhatian seperti kebutuhan fisik dan psikis. Kehidupan di kota mempengaruhi kehidupan masa tuanya yang mulai terasa membosankan. Tokoh Barman digambarkan sebagai lelaki yang mapan  dan banyak pengalaman dalam mengenal wanita pada masa mudanya.  Sedangkan penokohan pada tokoh utama (yang) tambahan Humam, digambarkan oleh pengarang sebagai sosok yang sudah tua yang masih memancarkan sinar kegembiraan seperti orang yan telah mencapai sesuatu dalam hidupnya. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini
“Apakah Humam itu seorang penyair atau filsuf?” wajahnya sungguh pun keriput dan tua, matanya memancarkan kegembiraan orang yang telah mencapai sesuatu dalam hidupnya. Sedang ia sendiri kini merasa kehilangan sesuatu yang dicarinya dan juga tidak ketemu. Sesuatu yang jauh, semacam kegelisahan selalu mengejar dirinya. Maka ia melihat sahabat baru itu dengan iri dan teka-teki.” (hlm.79)
Disamping itu, penokohan yang dilakukan pengarang terhadap tokoh utama tambahan Popi digambarkan sebagai wanita cantik berintelejensi tinggi, tinggi badan semampai dan kulitnya kuning langsat. Popi juga digambarkan sebagai mantan pekerja seks komersil yang ingin bertobat dengan cara merelakan idupnya sebagai wanita baik dan setia mendampingi Barman dan mengabdikan dirinya pada Barman dengan tidak meminta imbalan apapun dari Bobi (anak Barman) yang memintanya untuk menemani Barman di gunung.  Seperti yang terdapat pada kutipan berikut, “Aku telah memutuskan untuk  mengabdi padamu, Pap,”  katanya dengan penuh keyakinan.”  (hlm.85)
            Kemudian penokohan pada tokoh Bobi sebagai tambahan (yang memang) tambahan digambarkan sebgai seorang anak yang pengertian terhadap kebituhan sang ayah. Dapat kita lihat pada kutipan berikut,
“Menurut pikiran anaknya, Popi adalahh perempuan yang tepat untuk menemaninyya mengabiskan masa pensiun, dan barangkali sampai akhir hidupnya. Di gunung itu, perempuan sebagaimana Bobi tahu betul, tak boleh tak tersedia. “Engkau boleh hidup sendirian di kota, Pap. Tetapi di gunung tak mungkin,” kata anak itu. Anak itu, pada suatu siang datang padanya membawa pikiran yang bagus....”Untuk apa umur habis di kota. Berliburlah, melanconglah ke gunung. Rumah kita di gunung itu, bukankah punya Papi ?” Mulanya ia akan menolak. Untuk apa pergi ke gunung kalau maksudnya menghilangkan kesunyian ?” (hlm.3)

  
  1. Latar
            “Latar  disebut juga landas tumpu., menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial temapat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.” (Abrams dikutip Nurgiantoro, 2010:216). Latar merupakan salah satu unsur cerita yang berupa fakta. Pengarang menggunakan latar yang memang ada dalam kehidupan agar cerita yang dibuat tidak terkesan dibbuat-buat sehingga pengisahannya didukung dengan fakta yang dapat menunjang estetika cerita yang dibuat. Latar yang menunjang cerita dalam novel ini kebanyakan latar fisik. Latar awal sebelum Barman pergi ke gunung bersama Popi adalah kota. Pengarang tidak menggambarkan secara jelas kota yang ditunjuk, dapat kita lihat melalui petikan cerita berikut ini.
“Kemudian ia merasa asing, ditengah kota itu bukan tempat yang layak baginya. Ia merasa sendiri di tengah kesibukan. Siapa orang yang masih memperhatikan laki-laki tua di tengah keramaian? Tetapi bukan itu saja yang membuatnya kesepian. Sejenis perasaan tak terjelaskan, semacam kehilangan atau perjalanan jauh yang tak akan sampai. Berjalan di kota itu kadang-kadang olehnya terasa seperti sedang menuruti trotoar di Amsterdam atau di Paris atau Haarlem.” (hlm.22)
            Sebagian besar dari seluruh isi dari  novel  ini, menggambarkan latar netral yang  sebuah nama tempat hanya sekedar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tak lebih dari itu.  Latar yang disebutkan hanya sekedar  sebagai tempat   yang mungkin disertai dengan sifat umum sebuah tempat. Latra netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain. sifat yang ditunjukkan latar tersebut lebih merupakan sifat umum terhadap hal yang sejenis, misalnya desa, kota, hutan, pasar, sehingga sebenarnya hal itu dapat berlaku dimana saja. Pengarang membuat latar yang paling menonjol yaitu latar di pegunungan. Latar pegunungan ini meliputi villa, hutan, bukit dan kebun teh.“Ia ingin berdamai dengan kabut, rumput, pepohonan, gunduk, semak  dan  bukit. Berdamai de nagna alam untuk setiap kali mengucapkan selamat.” (hlm.40)  
  1. Sudut Pandang
            Dikatakan Abrams (diutip Nurgiantoro, 2010:248) bahwa sudut pandang, point of view, merupakan cara dan atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana utnuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita pada sebuah karya fiksi kepada pembaca. Pada novel yang sebagian besar substansinya mengambarkan keabstrakan ini memiliki sudut pandang persona ketiga berupa “Dia”  sebagai pengamat yang benar-benar objektif, narator bahkan hanya dapat dilihat dan didengar, atau yang dapat dijangkau oleh indera. Namun, walau ia hanya melaporkan secara apa adanya, kadar ketelitiannya haruslah diperhitungkan, khususnya ketelitian dalam mencatat dan mendeskripsikan berbagai peristiwa, tindakan, latar, sampai ke detil-detil terkecil yang khas. Narator, dalam hal ini, seolah-olah berlaku sebagai kamera yang berfungsi untuk merekam dan mengabadikan suatu objek. Sudut pandang “Dia” sebagai pengamat ini terlihat pada tokoh utama yaitu Barman yang terus menggambarkan tokoh lain dari hasil pengamatannya. Seperti contoh penggambaran tokoh Barman terhadap tokoh Humam.
“Barman teringat, gambar-gambar filsuf dan penyair Cina yang memancing. Apakah Humam itu seorang penyair atau filsuf?” wajahnya sungguh pun keriput dan tua, matanya memancarkan kegembiraan orang yang telah mencapai sesuatu dalam hidupnya. Sedang ia sendiri kini merasa kehilangan sesuatu yang dicarinya dan juga tidak ketemu. Sesuatu yang jauh, semacam kegelisahan selalu mengejar dirinya. Maka ia melihat sahabat baru itu dengan iri dan teka-teki.” (hlm.79)

  1. Amanat
      Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya sastra merupakan unsur isi.  Ia merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita.
      Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya : akhlak, budi pekerti, susila(KBBI,1994). Moral dalam karya satra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang  ingin disampaikannya kepada pembaca.
      Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya, merupakan gagasan yang yang mendasari penulisan karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.
      Pada novel ini, memiliki pesan moral yang berwujud religius, termasuk di dalamnya yang bersifat keagamaan dan kritik sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi atau dalam genre sastra lain. hal itu mungkin disebabkan banyaknya masalah kehidupan yang tidak sesuai dengan harapannya, kemudian mereka mencoba menawarkan solusi yang ideal. Pesan keagamaan yang dituangkan dalam novel ini tersirat pada penggambaran tingkah laku masyarakat desa tersebut ketika mengetahui orang yang dikagumi oleh mereka yaitu Barman telah meninggal. Satu persatu dari mereka ikut melakukan hal yang sama yang terjadi pada Barman dengan cara yang tidak wajar yaitu bunuh diri. Hal itu terjadi karena tidak ada iman di dalam diri mereka, mereka merasa jalan hidup yang terbaik untuk mencapai ketenangan adalah dengan jalan meninggal. Padahal yang ingin disampaikan Humam sebenarnya adalah arti ketenangan hidup yang sebenarnya yaitu bebas dari kehidupan dunia yang fana.

DAFTAR PUSTAKA
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mahayana, Maman S., Oyon Sofian dan Achmad Dian. 2007. Ringkasan danUlasan Novel                     Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo.
Kuntowijoyo. 1997. Khotbah di Atas Bukit. Yogyakarta: Bentang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar