Makalah ini dibuat sebagai tugas akhir Mata Kuliah
Sastra Nusantara
Dosen Pengasuh: Dr. Didi Suhendi, M.Hum.
Oleh:
Eka Novirna
06101002033
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2011
Analisis
Cerita “Benama Batin Si Jangoi di Pulau Paku”
Berdasarkan
Metode Analisis Isi
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara yang paling kaya kebudayaannya. Banyak corak dan warna di
berbagai daerah di Indonesia. mulai dari ragam bahasa, makanan, seni, bahkan
cerita rakyat daerah yang termasuk dalam bagian dari sastra daerah. Sastra
daerah merupakan rekaman kebudayaan Indonesia
dalam kurun waktu yang lama, yang mengandung buah pikiran, ajaran budi
pekerti, nasihat, hiburan, pantangan, termasuk kehidupan keagamaan masyarakat
waktu itu (Baried, 1978:iii).
Kajian
mengenai sastra daerah saat ini belum terlalu banyak di kalangan pelajar, khususnya
mahasiswa. Padahal salah satu fungsi sastra adalah untuk membangun kehidupan
mental-spiritual bangsa Indonesia. Selain itu, maraknya globalisasi juga
mempengaruhi sastra nusantara yang semakin terpuruk ditinggalkan. Banyak karya
sastra luar negeri mulai merambah di dunia kesusastraan Indonesia. Untuk
kepentingan itu, penulis merasa perlu melakukan pengkajian terhadap salah satu
jenis karya sastra nusantara guna mempertahankan eksistensi karya sastra
nusantara dan untuk memahami nilai-nilai yang ada dalam sebuah karya sastra
nusantara. Dalam hal ini, penulis mengkaji karya sastra Melayu yang berasal
dari Pulau Penyengat. Karya sastra ini berjudul “Bernama Batin Si Jangoi di
Pulau Paku”.
Hasil
analisis cerita rakyat Riau yang berjudul “Bernama Batin si Jangoi di Pulau
Paku” ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembelajaran sastra dan
bagi pendidikan. Bagi pembelajaran sastra, diharapkan pembaca dapat mengetahui
bahwa untuk menganalisis karya sastra dapat digunakan berbagai teori sastra,
salah satunya dengan teori analisis isi (content-analysis). Teori ini
digunakan untuk mengetahui dan memahami isi dari sebuah karya sastra sehingga
memudahkan kita untuk mengetahui tema dan amanat yang terkandung dalam sebuah
karya sastra. Dengan demikian, pembelajaran sastra dapat terbantu dengan adanya
analisis ini. Sedangkan kontribusi analisis ini bagi pendidikan adalah sebagai
berikut:
o
Bagi siswa, analisis isi pada karya sastra Melayu Riau yang berjudul
“Bernama Batin Si Jangoi di Pulau Paku” ini dapat menjadi salah satu karya yang
mewakili sastra nusantara untuk mempertahankan eksistensinya. Banyak karya
sastra luar negeri yang mulai merambah di dunia kesusastraan di Indonesia.
untuk itu, siswa perlu dikenalkan dengan karya sastra yang ada di Indonesia,
salah satunya adalah karya sastra Melayu yang menjadi dasar kesusastraan di
Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan nilai budaya yang terdapat
dalam sebuah karya sastra dan untuk memberikan pemahaman kepada siswa mengenai
nilai apa saja yang mungkin terdapat
dalam sebuah karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra dapat membentuk karakter
siswa melalui nilai-nilai yang dikandungnya.
o
Bagi guru, analisis ini diharapkan dapat membantu guru dalam proses
pembelajaran di kelas. Peranan guru yang begitu penting dalam proses
pembelajaran menuntut guru agar memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas
sehingga memudahkan guru untuk menyampaikan materi pelajaran yang berkaitan
dengan pembelajaran sastra di sekolah.
o
Bagi sekolah, hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai salah satu
referensi untuk menambah pustaka sekolah. Sehingga ketika siswa diberikan tugas
mengenai hal ini, mereka akan terbantu dengan hasil analisis ini. Dalam hal
ini, kepustakaan yang disediakan oleh sekolah mengenai karya sastra dapat
membantu proses belajar mengajar di kelas antara siswa dan guru.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, untuk menjelaskan pembahasan cerita rakyat daerah
Melayu Riau dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
o
Nilai-nilai apa yang terkandung dalam cerita “Bernama Batin Si Jangoi di
Pulau Paku”?
o
Apa tema dan amanat yang terkandung dalam cerita “Bernama Batin Si Jangoi
di Pulau Paku”?
1.3. Landasan Teoritis
ANALISIS ISI
Metode yang
digunakan dalam analisis ini adalah Content Analysis, yaitu suatu
pendekatan untuk mengungkapkan nilai-nilai dalam suatu karya sastra yang
berfokus pada pemahaman isi pesan dalam suatu karya sastra serta terfokus pada
pemahaman isi pesan atau gagasan pengarang. Analisis isi (content analysis)
adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu
informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah
Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat
lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi. Dengan
demikian pendekatan yang dilakukan adalah menginterpretasikan
pemikiran-pemikiran pengarang dengan menelaah pesan-pesan yang disampaikan
dalam karyanya tanpa memperhatikan konteks sosial budaya pengarang.
Menurut
Vrendenbreght (dikutip Ratna, 2004:48), secara eksplisit metode analisis isi
pertama kali digunakan di Amerika Serikat tahun 1926. tetapi secara praktis
telah digunakan jauh sebelumnya. Sesuai dengan namanya analisis isi terutama
berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal, dalam bentuk bahasa,
maupun nonverbal, seperti arsitektur, pakaian, alat rumah tangga, dan media
elektronik. Dalam ilmu sosial, isi yang dimaksudkan berupa masalah-masalah
sosial, ekonomi, dan politik, termasuk propaganda. Jadi, keseluruhan isi dan
pesan komunikasi dalam kehidupan manusia. Tetapi dalam karya sastra, isi yang
dimaksudkan adalah pesan-pesan, yang dengan sendirinya sesuai dengan hakikat
sastra. Analisis isi, khususnya dalam ilmu sosial sekaligus dapat dimanfaatkan
secara kualitatif dan kuantitatif.
Dasar
pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran terhadap isi pesan. Dalam
karya sastra, misalnya dilakukan penelitian terhadap gaya tulisan seorang
pengarang. Dalam media massa penelitian dengan metode analisis isi dilakukan
terhadap paragraf, kalimat, dan kata, termasuk volume ruangan yang diperlukan,
waktu penulisan, di mana ditulis, dan sebagainya, sehingga dapat diketahui isi
pesan secara tepat.
II. Pembahasan
2.1. Kisah Batin Si Jangoi di
Pulau Paku
Sebuah Cerita Dari Pulau Penyengat
Benama Batin Si Jangoi di Pulau Paku
Pulau Paku
adelah satu pulau kecik dalam Kepulauan Riau dekat dengan Pulau Penyengat.
Pulau itu pade mase dulu menjadi pusat menjadi tempat bekumpol orang-orang
sampan, orang-orang pesuku karene tempat itu dianggap mereka tempat keramat
tempak ulang alik pade waktu-waktu tertentu dan bile mereke mau mangadekan
istiadat upecare mereke datanglah ke Pulau Paku itu. Menurut ceritenye di Pulau
Paku itu ade sebuah botin. Di botin betempat tinggal seeko buaye puteh
penunggu, keramat di pulau itu. Bagi orang-orang pesuku, orang-orang
sampan yang hendak datang selalulah
hormat dan memuje buaye puteh itu. Di antare orang-orang yang punye cerite ini
menyampaikan bahwa pujean yang idsampaikan pada buaye puteh itu atau serapah
jampi ade yang bebunyi katenye begini: “salam, hai sahabat mambang tali arus
yang barulang ke pusat tasek pauh janggi ke laut Cine ke Rum sampaikanlah
pesanku ini kepade Sri Rumpun Alam. Aku mintak peliharekan kawan-kawan anak cucu.
Hai sekalian sahabatku yang di laut hai sidang salik, siang bayu, sidang
mummin, sidang mambang, sidang biku, mambang segale mambang singgasane mambang
dewate mambang laksane mambang sine mmati mambang dimate, mambang dewani
mambang tali arus. Mintak selamat anak cucu mintak selamat kaum keluarge.
Pada jaman
dulu klae ade seorang baten di pulau itu. Baten itu sebenarnye tidak tinggal di
pulau itu tapi jike ade upacare jike ade keramaian make Baten si Jangoi itulah
yang mengepalai segale macam istiadat di pulau itu. Jadi die semacam ketue
penghululah bagi segenap orang sampan dan orang pesuku di sakita daerah pulau
Paku itu.
Pada suatu
hari Baten si Jangoi katenye bejalan-jalan di pulau itu kerene sudah lame ie
tak mengunjung ke tempat-tempat rimbun-rimbun di tengah-tengah taman yang
dimaksud di pulau Paku itu. Waktu ie bejalan itu sampailah ke satu kumpulan
poko-poko pandan beduri. Tibe-tibe die mendenga bunyi tangis anak-anak dan
waktu die sampai di sane ditengoknye di tengah-tengah bunge pandan beduri itu
seorang kanak-kanak. Make diambeknye anak-anak itu dibawenye pulang ke
tempatnye dan diberinye name budak itu Puteri Pandan Beduri. Maka dipeliharelah
olehh baten Si Jangoi akan Puteri Pandan Beduri itu sebagai anakny sendiri
dimanjekan dan dijage sebagai seorang anak kepale suku. Dengan keadaan yang
telah dibuat oleh baten itu make oleh anak-anak buahnye suku-suku sampan dan
suku orang pesuku orang-orang lautlah umumnye make anak puteri itu dianggap
mereke sebagai puteri batenlah yang patut dihormati yang patut dimajekan oleh
seluroh suku. Adelah akan Puteri Pandan Beduri itu makin sari makin besalah
barang lakuna bebas saje. Padan pulak dengan rupenye agak jelite barang lakunye
manis belaku dipandang oleh orang- orang sekitanye. Gerak-geriknye belainan
daripade anak-anak suku yang ade di situ kacak dan cantik sebarang lakunye
petah sebarang kkate-kate sebagai pemberian alam yang lain dari
perempuan-perempuan atau anak-anak dare yang sebaye dengan suku sampan yang ade
di situ.
Dalam pade
itu tersebutlah di Pulaun Galang tak jauh daripade Pulau Paku itu. Di Plualu
Galang itu yang mengetuei due baradek yang bename Juru Pekase dan yang adek
Jenang Pendeka’. Rupenye pade mase itu care masyarakat agak laen. Adek beradek
tidak dapat sepaham dan sehaluan. Padahal walaupaun mereke itu lahe dari satu
perut satu tembuni, sejak kecik mereke dilateh besame. Cume mereke tidak
sependapat si abang dengan si adek selalu besengkete selalu bekelahi sampai ke
besa antare Juru Pekase dan Jenang Pendeka tak ade sepaham. Hal pesengketaan
dan tak pesesuaian antare due orang yang boleh dikatekan tekemuke itu di pulau
itu sangatlah merisaukan terutame si adek yaitu Jenang Pendeka. Sampai die
bemenong dan bepike mengapekah antare die kedue ni hidup tidak selese. Abangnye
jauh sangat berobah sikap selalu sak wasangke takot die merebot kuase merebot
pimpinan di Pulau Galang itu. Jadi Jenang Pendeka ini bepike barangkali dari
pade belanjut besengkete lebih baek lah die mengondokan dirinye merantau
belepas daripade Pulau Galang entah ndak kemane mengadu untung.
Make pade
suatu hari dengan tak memberi tahu ke abangnye tidak memberi tahu kepade sanak
saudarenye die mengambek sebuah sampan bekayoh meninggalkan Pulau Galang dan
akhenye sampailah die ke Pulau Paku. Di Pulau Paku seorang pemude yang jolong
naek die diterime oleh masyarakat Pulau Paku dengan baek. Dan pade suatu hari
die betemu dengan baten si Jangoi dan karene sikap yang sopan santun klarene
kelakuannye baek die lalu diterime oleh baten si Jangoi untok diam di Pulau
Paku. Die mengambaken diri pade baten si Jangoi dan karene mule pade waktu itu
sering bejumpe sering melihat baehadapan dengan Puteri Pandan Beduri akhenye
antare Jenang Pendeka dengan Puteri Pandan Beduri rupenye telah tumboh beni
rase hati die sudah tahu jantan betinenye. Apelagi kelakuan manusie. Melihat
keadaan Jenang Pendeka dan Puteri Pandan Beduri demikian rupe diepun sudah arif
kemane kire-kire tujuan hati anak-anak mude itu. Cume sebagai orang tue yang
bijaksane ie ingin mengetahui siape sebenanye pemude pengembare yang datang ke
Pulau Paku itu. Karene menurut cerite-cerite
yang didapat Jenang Pendeka mengaku orang biase walaupun nyatenye
tingkah lakunye ade bakat orang baek-baek. Die mengaku sebagi rakyat biase
bangse pesukuan, bangse orang sampan juge yang datang dari utare Pulau Paku.
Rupe dan sikapnye garak garik yang diperhatikan oleh baten si Jangoi
memperlihatkan dengan teliti bahwe Jenang Pendeka bukanlah orang pesukuan
biase. Mungkin die ni berasal dari penghulu-penghulu dari baten begitulah pike
dari baten si Jangoi. Dan die tidak pulak sombong bebesa hati dan pandai pulak
me,mberi tunjuk aja kepade kawan-kawannye yang baru dikenalnya di Pulau Paku
itu. Walaupun ie diajak oleh orang-orang sampan itu makan besame-same walaupun
die turot makan tidak jijik menampakkan kekotoran tapi ade sifatnye yang laen-laen. Bile mase makan ie nampak
memileh tempat makan yang bagus memileh tempat di kepale hidangan karene
nampaknye ie tak mau ade tangan kawan-kawannye semakin itu kene dalam hidangan
atau makanannye. Tingkah lakunye yang amat sopan dan boleh dikatekan belum perenah orang yang mau makan sehidangan
dengan orang-orang pesuku orang sampan di Pulau Paku itu. Yang menunjukkan
care-care adab seperti anak mude itu.
Keadaan yang telah dilakukannye itu sungguh menarek perasaan baten si
Jangoi. Dan diam-diam die turot
memperhatikan lebih lanjut karene
hal itu nampak beterusan nampaklah die bahwe Jenang Pendeka itu bukan
sebarang orang. Stidak tidaknye berkerabat bekaum dengan penghulu dengan baten
di tempat di pulau-pulau laen sebelum die datang ke Pulau Paku. Karene
memperhatikan begitu baeklah pade pikeannye kalau Jenang Pendeka dijodohkan
dengan Puteri Pandan Beduri. Hasrat hatinye itu tidak segere disampaikannye. Ie
tetap menyelidek lebih dan dalam dab mau tahu siape sebenanye Jenang Pendeka
itu.
Dari sehari
ke sehari betuka minggu masuk bulan.
Make akhenye barulah ie mangambek keputusan untuk menjadikan Henag Pendeka
menantunye. Make Puteri Pandan Beduripun dinikahkanlah dengan secare adat orang
pesuku adat orang sampan. Diadekalnlah makanan pesta taripun diadekan untok
merayekan dari perayaan itu sebesa-besanye. Bile telah kawin menantunye itupun
diserahkannye memegang jawatan baten di Pulau Paku, menjadi yang memerintah
untok mkaum pesuku kaum sampan sekitar daerah itu. Manekale kuase memerintah
telah diberi kepade Jenang Pendeka ie pun menyusun ape yang kite kenal dengan
adat pesukuan dengan adat orang laut yang menganggapTalok Tanjong di Kepulauan
Riau ini adelah hak mereke karene merekalah penduduk-penduduk asli di tempat
itu.
Make adat
suku laut yang diato oleh Jenang Pendeka titu pun meratelah belaku di pulau di
sekita Pulau Paku itu. Dari satu temoat ke satu tempat namenye tekenallah dari
satu pulau ke pulau laen dan tak alame dianterenye kebetulan datang orang-orang
dari Pulau Galang ke Pulau Paku dan bile melihat orang Galang itu melihat ketue
orang-orang Pulau Paku itu adelah dari keluarge raja mereke merekapun
menyembahlah kepadenye dan mengajak pulang karene ade berite yang menyempaikan
bahwe abangnye yang memerintah Pulau Galang itu sudah meninggal dunie. Make
setelah beronding dengan baten si Jangoi di Pulau Paku itu akhenye adelah
persetujuan bahwe Jenang Pendeka balek ke Pulau Galang menurut permintaan
rakyatnye.
2.2. Kisah Batin Si Jangoi di Pulau
Paku dalam Bahasa Indonesia
Sebuah Cerita dari Pulau Penyengat
Bernama Batin Si Jangoi di Pulau Paku
Pulau Paku
adalah sebuah pulau kecil di Kepulauan Riau dekat Pulau Penyengat. Pada masa
dahulu, pulau itu menjadi pusat berkumpul orang-orang sampan (orang-orang laut)
dan orang-orang suku terasing karena tempat itu dianggap oleh mereka keramat,
tempat pulang pergi pada waktu tertentu, dan tempat mengadakan upacara adat.
Munurut cerita di Pulau Paku terdapat sebuah beting (karang) tempat tinggal seekor
buaya putih yang keramat sebagai penunggu pulau itu. Menurut cerita,
orang-orang suku terasing dan orang-orang sampan yang datang ke pulai itu
selalu hormat dan memuja buaya itu. Di antara orang-orang yang bercerita itu
menceritakan bahwa pujaan yang disampaikan kepada buaya putih itu atau
jampi-jampi yang ada berbunyi begini: “Salam hai sahabatku dewa yang memelihara
tali arus yang bolak balik ke pusat Pauh Janggi (nama tempat) ke Laut Cina,
Laut Roma sampaikan pesanku ini kepada Sri Rumpun (alam sedunia) aku minta
dilindungi kawan-kawan anak cucu sekeluarga. Hai semua sahabatku yang di laut,
hai sidang penunggu tasik, penunggu angin, penunggu arah, para peri, para
pendeta, mambang (jin) laut, mambang singgasana, mambang dewa, mambang peri,
mambang hidup dan mati, mambang perempuan, dan mambang alur laut. Semoga
selamat anak cucu, mohon selamat kaum keluarga.”
Konon jika
jampi-jampi demikian sudah disampaikan, tidak ada anak cucu orang-orang
terasing maupun orang-orang sampan diganggu oleh buaya putih penunggu pulau
paku itu. Menurut cerita, Pulau Paku itu tidak seperti sekarang ini, yaitu
pulau kecil yang berbatu-batu dan hanya satu dua pohon, tetapi pada masa dahulu
pohon-pohon seperti taman. Di tengah-tengah taman itu lahirlah seorang putri
bernama Pandan Beduri.
Pada zaman
dahulu di Pulau itu tinggal seorang batin (kepala suku). Sebenarnya batin yang
bernama si Jangoi itu tidak menetap di pulau itu, tapi datang jika upacara adat
atau keramaian karena dialah yang mengepalai segala macam upacara itu. Dia sebagai
ketua atau penghulu bagi orang-orang terasing dan orang-orang sampan sereta
daerah sekitar pulau itu.
Pada suatu
hari batin si Jangoi berjalan-jalan di pulau itu karena ia sudah lama tidak
pergi ke tempat yang banyak diitanami pohon yang rimbun itu. Setelah ia sampai
ke tempat yang rimbun banyak tanaman berduri, tiba-tiba ia mendengar anak
menangis. Ketika didatanginya di sekeliling bunga pandan itu ada seorang anak
perempuan. Anak itu diambil dan dibawa pulang lalu diberi nama Pandan Beduri.
Pandan Beduri dipelihara oleh batin si Jangoi seperti anak sendiri dan
dimanjakan sebagaimana layaknya seorang anak kepala suku. Demikian juga oleh
orang-orang sampan dan orang-orang suku terasing, pada umumnya menganggap putri
itu sebagai anak kepala sukunya sendiri yang pantas dihormati dan dimanjakan.
Adapun Putri Pandan Beduri itu makin hari makin lincah lakunya, sesuai pula
dengan rupanya yang cantik jelita dan segala tingkah lakunya sedap dipandang.
Gerak-geriknya barlainan dengan anak-anak di situ, bagus dan manis sebarang
lakunya bijak sebarang kata-katanya sebagai pemberian alam, lain dari pada yang
lain dibandingkan anak-anak sebayanya. Bila sudah besar bapaknya berniat hendak
mengawinkan dengan orang bangsawan karena kalau dilihat tingkah lakunya menunjukkan
keturunan orang bangsawan dibandingkan dengan orang-orang sukunya itu.
Tersebutlah
di Pulau Galang tidak jauh dari Pulau Paku itu yang diketahui oleh dua orang
kakak beradik, yang tua bernama Juru Pakesa adiknya bernama Jenang Pendeka.
Agaknya pada masa itu masyarakat berlainan adatnya, kakak beradik tidak
sepaham. Demikian juga keduanya selalu bertengkar meskipun sejak kecil dididik
dan lahir dari ibu yang sama. Persengketaan dan tidak persesuaian antara kedua
kakak beradik yang termasuk orang terkemuka di pulau itu, sangat mereka
risaukan terutama si Jenang Pendeka. Ia termenung memikirkan hidupnya yang
tidak sepaham dengan saudaranya. Abangnya selalu mencurigai dirinya, takut
kalau kekuasaannya direbut. Akhirnya Jenang Pendeka berpikir, dari pada sengketa
ini tak berkesudahan lebih baik menjauhkan diri dari Pulau Galang pergi
merantau mengadu untung.
Pada suatu
hari, Jenang Pendeka tanpa memberi tahu abang maupun saudara-saudaranya
mengambil sampan berkayuh meninggalkan pulau itu dan akhirnya sampailah di
Pulau Paku. Di Pulau Paku itu ia duterima masyarakat dengan baik. Pada suatu
hari, ia berjumpa dengan batin si Jangoi. Karena tingkah lakunya yang baik lagi
sopan santun, ia diterima tinggal di Pulau Paku. Dia menghambakan diri kepada
batin si Jangoi. Oleh karena itu, ia sering berjumpa dan melihat Putri Pandan
Beduri. Akhirnya keduanya saling mencintai. Batin si Jangoi seorang yang
bijaksana. Sepintas lalu saja ia dapat membedakan ikan jantan dan ikan betina
dalam air yang dalam apalagi kelakuan manusia. Demikian pula melihat keadaan
Janeng Pendeka dengan Pandan Beduri sudah mengetahui kira-kira kemana tujuan
hati keduanya. Jenang Pendeka, sebagai orang pengembara yang datang ke Pulau
Paku ini menurut ceirta mengaku orang kebanyakan walaupun kenyataan tingkah
lakunya menunjukkan orang baik-baik (bangsawan). Dia mengaku sebagai rakyat
biasa seperti bangsa pesukuan atau orang sampan juga, yang datang dari utara
Pulau Paku. Rupanya maupun gerak-geriknya selalu diperhatikan oleh batin si
Jangoi, dan menunjukkan dengan jelas bahwa si Jenang Pendeka bukan keturunan
orang pesukuan biasa. Si Jangoi berpikir mungkin ia keturunan penghulu atau
batin. Ia tidak pula sombong atau tinggi hati dan pandai pula menyesuaikan diri
dengan kawan-kawan yang baru dikenalnya di Pulau Paku itu. Walaupun diajak
makan bersam-sama dengan orang-orang sampan itu, ia turut makan tidak
menunjukkan kejijikannya. Akan tetapi ada kebiasaan yang lain. bila sedang
makan ia memilih tempat yang bersih, memilih temoat hidangan untuk orang-orang
terhormat karena agaknya ia tak mau air pembasuh tangan kawan-kawannya mengenai
hidangan atau makanannya. Tingkah lakunya yang sopan dan dapat dikatakan selama
itu belum pernah orang lain yang mau makan dengan orang pesukuan, orang sampan
yang seperti dilakukan oleh anak muda itu menunjukkan bahwa ia orang beradat.
Keadaan seperti itu menarik perhatian batin si Jangoi. Si Jangoi dengan
diam-diam memperhatikan anak muda itu. Akhirnya, tahulah si Jangoi bahwa ia
bukan sembarang orang, setidak-tidaknya saudara atau keluarga penghulu atau
batin di pulau lain sebelum sampai ke Pulau Paku itu. Karena berpendapat
demikian, sebaiknya Jenang Pedneka dikawinkan dengan Putri Pandan Beduri.
Namun, hasrat tu tidak lekas dilaksanakan karena ia masih terus menyelidiki, ingin
kepastian siapa sebenarnya Jenang Pendeka itu.
Dari hari
ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, barulah ia mengambil keputusan
menjadikan Jenang Pendeka sebagai menantunya. Putri Beduri dinikahkan secara
adat orang pesukuan dan adat orang sampan. Pada hari pernikahan itu diadakan
tari-tarian dan pesta besar-besaran. Setelah dinikahkan, menantunya diserahi
jabatan sebagai batin di pulau itu, menjadi orang yang memerintah kaum pesuku
dan kaum sampan yang menganggap teluk dan tanjung di Kepulauan Riau adalah
menyusun peraturan yang dikenal dengan adat pesukuan dan adat orang sampan yang
menganggap telu dan tanjung di Kepulauan Riau adalah menjadi hak mereka
penduduk asli daerah itu.
Peraturan
dari adat yang diatur oleh Jenang Pendeka itu berlaku di sekitar Pulau Paku
itu. Dari satu tempat ke tempat lain, dari pulau ke pulau, maka terkenallah
namanya dan banyak orang berdatangan, dan di antara orang-orang dari Pulau
Galang. Ketika orang-orang Galang itu melihat ketua orang-orang Pulau Paku itu
adalah keluarga raja mereka, maka menyembahlah kepadanya, dan mengajak pulang
arena abangnya yang memerintah Pulau Galang
telah meninggal dunia. Setelah berunding dengan batin si Jangoi, akhirnya
Jenang Pandeka mendapat persetujuan pulang ke Pulau Galang sesuai dengan
permintaan rakyatnya.
2.3. Nilai-nilai yang
Terkandung dalam Kisah Batin Si Jangoi
2.3.1. Nilai
Kepercayaan/Keyakinan
Dalam karya
sastra dari Riau ini mengandung nilai keyakinan masyarakat pada saat itu yang
masih percaya dengan sesuatu berbau tahayul. Mereka pada saat itu masih meminta
perlindungan kepada jin atau makhluk gaib lainnya. Buaya putih yang mereka
yakini ada di Pulau Paku itu dianggap keramat. Sehingga mereka meminta bantuan
kepada jin atau penunggu lainnya untuk mendapatkan perlindungan keselamatan
agar tidak diganggu oleh buaya putih itu. Dapat kita lihat pada kutipan berikut
ini.
Munurut
cerita di Pulau Paku terdapat sebuah beting (karang) tempat tinggal seekor
buaya putih yang keramat sebagai penunggu pulau itu. Menurut cerita, orang-orang
suku terasing dan orang-orang sampan yang datang ke pulai itu selalu hormat dan
memuja buaya itu. Di antara orang-orang yang bercerita itu menceritakan bahwa
pujaan yang disampaikan kepada buaya putih itu atau jampi-jampi yang ada
berbunyi begini: “Salam hai sahabatku dewa yang memelihara tali arus yang bolak
balik ke pusat Pauh Janggi (nama tempat) ke Laut Cina, Laut Roma sampaikan
pesanku ini kepada Sri Rumpun (alam sedunia) aku minta dilindungi kawan-kawan
anak cucu sekeluarga. Hai semua sahabatku yang di laut, hai sidang penunggu
tasik, penunggu angin, penunggu arah, para peri, para pendeta, mambang (jin)
laut, mambang singgasana, mambang dewa, mambang peri, mambang hidup dan mati,
mambang perempuan, dan mambang alur laut. Semoga selamat anak cucu, mohon
selamat kaum keluarga.”
Dari kutipan di atas, terdapat bunyi
jampi-jampi yang mereka bacakan ketika hendak meminta perlindungan keppada jin.
Dengan membaca jampi-jampi itu, mereka meyakini bahwa buaya putih itu tidak
akan mengganggu kehidupan keluarga anak cucu mereka. Sehingga mereka merasa
aman setelah melakukan ritual itu.
2.3.2. Nilai Kemasyarakatan/sosial
Nilai yang
menonjol pada kisah batin Si Jangoi ini adalah nilai kemasyarakatan. Dalam hal
ini, dapat juga penulis katakan bahwa nilai yang tampak lebih nyata adalah
nilai sosialnya. Nilai sosial ini merupakan pedoman secara langsung bagi setiap
anggota masyarakat. Nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung dalam cerita
“Bernama Batin Si Jangoi di Pulau Paku” ini diuraikan sebagai berikut.
2.3.2.1. Etika Keselarasan
Sosial
Etika
keselarasan sosial menuntut bentuk-bentuk interaksi sosial yang bersifat
konstruktif., memelihara situasi-situasi yang tellah melembaga dan mapan.
Penerobosan dan pendobrakan terhadpa norma-norma, dan bentuk-bentuk konflik apapun
tidak dibenarkan dan “tidak etis” . sebaliknya sikap santun dan laras sangat
diutamakan. Keselarasan sosial itu sendiri akan terpelihara apabila setiap
individu mampu memainkan peranan yang dituntut dalam status yang didudukinya.
Selama tidak ada intervensi dari sumber-sumber luar, maka makin sempurna para
anggota masyarakat menyesuaikan diri dengan status role-nya, akan makin baiklah
jalannya masyarakat dalam fungsinya (Ralp Linton dikutip Yunus dkk. 1990:114).
Dalam
kaitan ini, kisah batin si Jangoi memberikan petunjuk bagi masayarakat tentang
tuntunan bagaimana seorang keturunan penguasa harus bersikap kepada rakyat
kecil. Kepada orang-orang yang mengabdi pada penguasa yang dalam hal ini adalah
seorang batin. Tentang hal ini dapat dirasakan nilainya pada cerita Jenang
Pendeka yang pergi meninggalkan Pulau Galang dan hidup serta berdiam di Pulau
Paku. Jenang Pendeka, seorang keturunan penghulu atau batin di Pulau Galang
pada masa itu hidup sebagai rakyat biasa di Pulau Paku. Ia tidak berkeberatan bergaul
dan hidup bersama orang-orang sampan dan orang-orang terasing di Pulau Paku.
Bahkan ia menyembunyikan identitas dirinya dari batin Si Jangoi.
Bentuk interaksi lainnya adalah terdapat pada
kisah Jenang Pendeka yang tidak merasa jijik makan satu hidangan dengan orang
pesukuan seperti orang-orang laut dan orang-orang terasing. Walaupun ia
menyadari pennuh akan statusnya sebagai keturunan penghulu di Pulau Galang, ia
tidak merasa tinggi hati dan pandai menyesuaikan diri. hanya saja, ia memiliki
kebiasaan yang berbeda dengan orang pesukuan. Walaupun tidak menyinggung
orang-orang pesukuan yang sedang makan dengannya, ia tetap memiliki cara agar
ia dapat menikmati hidangan dengan nyaman. Paparan di atas dapat kita lihat
pada kutipan di bawah ini.
Jenang
Pendeka, sebagai orang pengembara yang datang ke Pulau Paku ini menurut ceirta
mengaku orang kebanyakan walaupun kenyataan tingkah lakunya menunjukkan orang
baik-baik (bangsawan). Dia mengaku sebagai rakyat biasa seperti bangsa
pesukuanatau arang sampan juga, yang datang dari utara Pulau Paku. Rupanya
maupun gerak-geriknya selalu diperhatikan oleh batin si Jangoi, dan menunjukkan
dengan jelas bahwa si Jenang Pendeka bukan keturunan orang pesukuan biasa. Si
Jangoi berpikir mungkin ia keturunan penghulu atau batin. Ia tidak pula sombong
atau tinggi hati dan pandai pula menyesuaikan diri dengan kawan-kawan yang baru
dikenalnya di Pulau Paku itu. Walaupun diajak makan bersam-sama dengan
orang-orang sampan itu, ia turut makan tidak menunjukkan kejijikannya. Akan
tetapi ada kebiasaan yang lain. bila sedang makan ia memilih tempat yang
bersih, memilih temoat hidangan untuk orang-orang terhormat karena agaknya ia
tak mau air pembasuh tangan kawan-kawannya mengenai hidangan atau makanannya.
Tingkah lakunya yang sopan dan dapat dikatakan selama itu belum pernah orang
lain yang mau makan dengan orang pesukuan, orang sampan yang seperti dilakukan
oleh anak muda itu menunjukkan bahwa ia orang beradat.
Kutipan di atas mencerminkan nilai sosial
kemasyarakatan dengan jelas yang disampaikan pegarang melalui tokoh Jenang
Pendeka. Tokoh ini ditampilkan sebagai seorang anak keturunan ketua
suku/penghulu di Pulau Galang yang merantau ke Pulau Paku. Sedangkan
kehidupannya di Pulau Paku adalah sebagai rakyat biasa seperti orang pesukuan.
2.3.2.2. Etika Kepemimpinan
Unsur terpenting
dalam mekanisme kemasyarakatan adalah unsur kepemimpinan. Kepemimpinan
adalahsentral bagi dinamika suatu organisasi sosial atau kelompok masyarakat.
Konsep kepemimpinan menunjuk pada suatu kedudukan sosial, berupa suatu kompleks
dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada diri seseorang pemimpin.
Kepemimpinan juga menunjuk pada sifat-sifat, kriteri-kriteri tertentu yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin. (Yunus dkk., 1990:116-117)
Dalam cerita batin
si Jangoi ini, nilai kepemimpinan disampaikan oleh pengarang melalui tokoh
batin si Jangoi dan Jenang Pendeka. Batin Si Jangoi selalu mengepalai setiap upacara
adat yang dilakukan oleh orang pesukuan seperti orang-orang sampan dan
orang-orang terasing. Batin Si Jangoi digambarkan sebagai pemimpin yang sangat bertanggung jawab terhadap
rakyatnya. Ia selalu menghadiri acara adat atau kegiatan yang menuntut ia untuk
hadir di sana.
Sikap kepemimpinan
batin Si Jangoi dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Pada zaman dahulu di Pulau itu tinggal seorang batin
(kepala suku). Sebenarnya batin yang bernama si Jangoi itu tidak menetap di
pulau itu, tapi datang jika upacara adat atau keramaian karena dialah yang
mengepalai segala macam upacara itu. Dia sebagai ketua atau penghulu bagi
orang-orang terasing dan orang-orang sampan sereta daerah sekitar pulau itu.
Selain batin Si
Jangoi, pengarang juga menunjukkan nilai kepemimpinan melalui tokoh Jenang
Pendeka. Sifat kepemimpinannya mulai muncul ketika batin Si Jangoi memutuskan
untuk menikahkan Putri Pandan Beduri dengan Jenang Pendeka. Setelah menikah,
batin Si Jangoi memberikan tampuk kepemimpinannya kepada Jenang Pendeka sebagai
pewaris untuk melanjutkan perannya sebagai seorang penghulu. Jenang Pendeka
membuat peraturan yang kemudian memakmurkan kehidupan rakyatnya. Ia sangat
melindungi orang-orang pesukuan di Pulau Paku sehingga namanya tersohor ke
seluruh penjuru pulau maupun pulau-pulau lain yang berada di dekat Pulau Paku.
Sikap kepemimpinan
Jenang Pendeka dapat dilihat pada kutipan
berikut ini.
Setelah dinikahkan,
menantunya diserahi jabatan sebagai batin di pulau itu, menjadi orang yang
memerintah kaum pesuku dan kaum sampan yang menganggap teluk dan tanjung di
Kepulauan Riau adalah menyusun peraturan yang dikenal dengan adat pesukuan dan
adat orang sampan yang menganggap telu dan tanjung di Kepulauan Riau adalah
menjadi hak mereka penduduk asli daerah itu.
Peraturan
dari adat yang diatur oleh Jenang Pendeka itu berlaku di sekitar Pulau Paku
itu. Dari satu tempat ke tempat lain, dari pulau ke pulau, maka terkenallah
namanya dan banyak orang berdatangan, dan di antara orang-orang dari Pulau
Galang.
Selain itu, sikap
Jenag Pendeka sebagai seorang pemimpin juga ditunjukkan pada kisah ketika ia
bertemu dengan rakyatnya dari Pulau Galang yang sedang berkunjung ke Pulau
Paku. Mereka mengabarkan kepada Jenang Pendeka bahwa Pulau Galang sudah tidak
memiliki pemimpin lagi karena Juru Pakesa sudah meninggal dunia. Sehingga
mereka membutuhkan Jenang Pendeka untuk menjadi pengganti Juru Pakesa sebagai
penghulu mereka di Pualu Galang. Kemudian untuk memenuhi permintaan rakyatnya
itu, ia rela meninggalkan Pulau Paku dan jabatannya sebagai batin melalui
persetujuan dari batin Si Jangoi. Kisah ini ditunjukkan melalui kisah berikut.
Peraturan
dari adat yang diatur oleh Jenang Pendeka itu berlaku di sekitar Pulau Paku
itu. Dari satu tempat ke tempat lain, dari pulau ke pulau, maka terkenallah
namanya dan banyak orang berdatangan, dan di antara orang-orang dari Pulau
Galang. Ketika orang-orang Galang itu melihat ketua orang-orang Pulau Paku itu
adalah keluarga raja mereka, maka menyembahlah kepadanya, dan mengajak pulang
arena abangnya yang memerintah Pulau Galang
telah meninggal dunia. Setelah berunding dengan batin si Jangoi, akhirnya
Jenang Pandeka mendapat persetujuan pulang ke Pulau Galang sesuai dengan
permintaan rakyatnya.
2.3.2.3. Etika dalam Kehidupan Keluarga
Keluarga adalah
kelompok sosial terkecil yang menjadi dasar dan sumber terbentuknya kelompok
sosial yang lebih besar, yaitu mmasyarakat. Di dalam keluarga inilah
berlangsungnya proses enkulturasi atau penanaman nilai-nilai budaya pada
kehidupan yang lebih luas dalam masyarakat.
Dalam hal ini,
kisah batin Si Jangoi ini etika kehidupan dalam keluarga digambarkan oleh Jenang
Pendeka. Sejak kecil kehidupan Jenang Pendeka dengan saudaranya yaitu Juru
Pakesa tidak harmonis. Mereka selalu terlibat dalam permusuhan bersaudara.
Hingga keduanya besar, Juru Pakesa menuduh Jenang Pendeka ingin merebut
kekuasaannya sebagai penghulu di Pulau Galang. Jenang Pendeka sebagai adik
merasa tidak enak kepada kakaknya. Ia memutuskan pergi dari Pulau Galang dengan
menggunakan sampan berdayung untuk menghindari permusuhan yang tak pernah
selesai antara dirinya dengan sang kakak. Dapat kita lihat pada kutipan berikut
ini.
Persengketaan
dan tidak persesuaian antara kedua kakak beradik yang termasuk orang terkemuka
di pulau itu, sangat mereka risaukan terutama si Jenang Pendeka. Ia termenung
memikirkan hidupnya yang tidak sepaham dengan saudaranya. Abangnya selalu
mencurigai dirinya, takut kalau kekuasaannya direbut. Akhirnya Jenang Pendeka
berpikir, dari pada sengketa ini tak berkesudahan lebih baik menjauhkan diri
dari Pulau Galang pergi merantau mengadu untung.
2.4. Tema dan Amanat yang
Terkandung dalam Kisah Batin Si Jangoi
Kisah batin
Si Jangoi dari Riau ini mengandung tema tentang kisah kehidupan seorang
batin/penghulu, baik itu keturunannya atau batin itu sendiri, mereka akan tetap
menjadi seorang penghulu. Seperti Jenang Pendeka yang melarikan diri dari Pulau
Galang karena ingin menghindari perselisihan antara dirinya dengan kakaknya ke
Pulau Paku. Namun pada akhirnya ia tetap menjadi seorang penghulu di Pulau
Paku. Kedudukan itu ia dapatkan bukann karena keinginannya untuk menjadi
seorang penghulu. Tetapi karena ia menjadi pewaris tahta dari batin Si Jangoi
setelah menikah dengan Putri Pandan Beduri. Ia bukanlah seorang yang haus
kekuasaan, tetapi justru takdirlah yang membawa ia sampai menjadi seorang
penghulu, walaupun ia bukan penghulu di Pulau Galang, tempat asalnya.
Bagaimanapun juga, akhir cerita ini mengisahkan bahwa kakanya, Juru Pakesa,
akhirnya meninggal dan Pulau Galang kehilangan pemimpin. Sehingga ketika rakyat
Jenang Pakesa dari Pulau Galang bertemu dengannya di Pulau Paku, ia diminta
kembali ke Pulau Galang dan menjadi penghulu menggantikan kakaknya yang baru
saja meninggal.
Sedangkan
kisah batin Si Jangoi, ia tetap menjadi seorang batin bagi rakyat pesukuan di
Pulau Paku. Setelah ia menyerahkan jabatannya kepada Jenang Pendeka, ia kembali
menerima jabatannya sebagai batin karena Jenang Pendeka harus kembali ke Pulau
Galang untuk mengambil alih pekerjaan kakaknya yang baru saja meninggal.
Sehingga dari kedua kisah ini, dapat disimpulkan bahwa tema yang terkandung
dalam kisah batin Si Jangoi ini adalah keturunan penghulu akan tetap menjadi
penghulu, seperti analogi keturunan raja tetap menjadi raja di kemudian hari.
Melalui
kisah ini, pengarang ingin menyampaikan pesan berupa:
1. Sebagai manusia yang
berkeyakinan dan beragama, kita jangan terlalu mempercayai hal-hal yang
bersifat tahayul.
2. Setiap pemimpin hendaklah
bersikap seperti tokoh batin Si Jangoi yang bertanggung jawab dan seperti
Jenang Pendeka yang juga bertanggung jawab dan arif bijaksana.
III. Penutup
Dari
pembahasan di atas dapat penulis simpulkan, cerita “Bernama Batin Si Jangoi di
Pulau Paku” ini mengungkapkan tema mengenai kepemimpinan seorang penghulu dan
sikap-sikap yang dimilikinya sebagai pemimpin. Sebaiknya, pemimpin kita yang
ada pada saat ini pun bersikap seperti batin Si Jangoi dan Jenang Pendeka. Agar
rakyat dapat hidup dalam suasana kehidupan yang damai dan tentram karena merasa
mendapat perlindungan dari pemimpinnya. Dalam kisah batin Si Jangoi ini
terdapat nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui tokoh-tokohnya.
Seperti nilai keyakinan/kepercayaan masyarakat pada masa itu yang masih
mempercayai hal-hal yang bersifat tahayul secara kuat. Seharusnya sebagai orang
yang beragama kita tidak harus melakukan hal itu. Karena kita memiliki Allah,
tuhan semesta alam sebagai Pelindung hidup kita. Selai itu terdapat nilai
sosial yang harus ditiru oleh masyarakat saat ini. Perkembangan zaman telah
membuat individu di muka bumi ini semakin bersifat individualisme. Untuk itu
kita perlu mengambil nilai dalam kisah batin Si Jangoi ini untuk memperbaiki
hubungan sosial kemasyarakatan kita. Pengarang juga ingin menyampaikan bahwa
kisah batin Si Jangoi juga menyimpan nilai kekeluargaan yang ditunjukkan dari
sikap Jenang Pendeka terhadap keluarganya. Ia tidak ingin terus berada dalam
perselisihan dengan sang kakak dan tidak ingin membuat sang kakak merasa
terganggu, untuk itu ia meninggalkan Pulau Galang dan pergi ke Pulau Paku.
Demikianlah pembahasan dari analisis cerita “Bernama Batin Si Jangoi di Pulau
Paku”.
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Ahmad dkk.. 1990. Kajian Analisis
Hikayat Budistihara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Racmat Djoko. 2007. Prinsip-prinsip
Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hasan, Kailani dkk.. 1983. Morfologi dan
Sintaksis Bahasa Melayu Riau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Atar, M Semi. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung : Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar