I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam ilmu
filologi, naskah merupakan objek pengkajian utama. Naskah ini berbentuk karya
(tulisan) yang merupakan salah satu peninggalan kongkret masa silam suatu
bangsa. Teks yang tertuang di dalam naskah diposisikan sebagai bahan analisis
dengan tujuan untuk mengungkapkan produk masa lampau yang berupa karya
(tulisan), mengungkapkan fungsi karya tulisan itu dalam masyarakat penghasil
atau ahli waris karya itu dan dalam masayarakat masa kini, serta mengungkapkan
nilai – nilai budaya yang terkandung dalam karya. Secara khusus tujuan studi filologi
adalah mengungkapkan sejarah perkembangan teks, mengungkapkan sambutan penerima
teks, dan menyajikan suntingan teks dalam bentuk yang dapat dibaca oleh
masyarakat masa kini.
Banyaknya
naskah peninggalan dari budaya masa lampau Nusantara namun sedikitnya filolog
yang mampu mengkaji teks naskah–naskah itu saat ini mejadi permasalahan dalam
mengungkapkan tujuan–tujuan dari studi filologi itu sendiri. oleh karena itu,
perlu adanya pembelajaran untuk pengkajian teks dan naskah sehingga diharapkan
adanya ketertarikan untuk terus mengkaji teks dan naskah yang ada. Meskipun dalam pengkajian
ini hanya sebatas analisis teks semata. Tetapi, paling tidak telah ada usaha
untuk mengkaji teks secara sederhana.
Pengkajian
filologi tak lepas dari metode–metode yang terus berkembang. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah
dengan teori–teori sastra. Adapun dalam makalah ini, metode pengkajian naskah
adalah dengan sastra yang menggunakan teori strukturalisme, yaitu salah satu
pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur yang
membangun sebuah karya sastra yang besangkutan.
Naskah yang
dianalisis dalam makalah ini adalah naskah yang tumbuh dalam masyarakat Melayu.
Artinya naskah yang dimaksud berupa karya sastra yang tertulis dengan huruf Arab-Melayu.
Dengan huruf “Arab-Melayu” dimaksudkan huruf Arab yang digunakan untuk
menuliskan bahasa Melayu. Naskah ini berjudul “Lancang Kuning”.
Naskah ini
ditemukan penulis terdapat dalam sebuah buku pelajaran Sekolah Menengah Pertama
Negeri 2 Kundur Barat, Karimun, Kepulauan Riau. Meskipun naskah ini terbilang
muda, tetapi teks yang terdapat di dalamnya merupakan teks yang sudah tua.
Cerita ini dahulu sering disampaikan secara lisan, kemudian mulai dituliskan
sehingga dapat diajarkan pada siswa untuk tetap mempertahankan kebudayaan masa
lampau. Selain siswa dapat mempelajari tulisannya, siswa juga dapat mengenal
sejarah yang terkandung di dalamnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat kita ketahui bahwa
sedikit sekali orang-orang yang ingin menganalisis naskah untuk mengungkap
khasanah kebudayaan masa lampau. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis
naskah Melayu yang berjudul “Lancang Kuning” ini secara sederhana. Adapun
metode analisis yang digunakan adalah metode pendekatan strukturalisme.
1.3. Landasan Teoritis
TEORI STRUKTURALISME
Pendekatan
struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Ia
mendapat pengaruh langsung dari Saussure yang mengubah studi lingusitik dari
pendekatan diakronik menjadi sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan
pada sejarah perkembangannya, melainkan hubungan antarunsurnya. Masalah unsur
dan hubungan antarunsur merupakan hal yang penting dalan pendekatan ini. Unsur
bahasa misalnya, unsur fonologi, unsur morfologi dan sintaksis, maka dalam
studi linguistik pun dikenal adanya studi fonetik, fonemik, morfologi dan
sintaksis. (Nurgiyantoro, 2010:36)
Sebuah
karya sastra, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun
secara koherensif oleh barbagai unsur
pembangunnya. Di satu pihak, Abrams (dikutip Nurgiayntoro, 2010:36) karya
sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan , dan gambaran semua bahan
dan bagian yang menjadi komponennya serta bersama membentuk kebulatan yang
indah. Sementara di pihak lain struktur karya sastra juga menyaran pada
pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling
menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan
yang utuh.
Analisis
struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan
medeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsiknya. Mula-mula
diidentifkasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan
peristiwa-peristiwa, plot, tokoh, latar, dll. Setelah itu, kaitkan unsur satu
dengan unsur yang lain sehingga membentuk suatu kepaduan dalam karya sastra.
Dengan demikian, pada prinsipnya kajian strukturalisme bertujuan untuk
memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarunsur intrinsik yang
menunjang sebuah karya sastra sehingga membentuk kepaduan yang menyeluruh.
II. Pembahasan
2.1. Transliterasi Naskah Melayu “Lancang Kuning” ke dalam Aksara Bahasa
Indonesia
Lancang Kuning
Lancang adalah sebuah perahu dengan ukurang yang
berbeda-beda, karena ada yang kecil dan ada pula yang besar, yang jelas lancang
adalah alat perhubungan air pada masa lalu. Dalam masyarakat Riau lebih dikenal
dengan Lancang Kuning yang merupakan suatu lambang kebesaran daerah Riau.
Karena itu Lancang Kuning ditetapkan menjadi lambang dan nyanyi (nyanyian—pent.)
daerah Riau.
Adapun cerita Lancang Kuning adalah berasal dari sebuah
kerajaan yang terdapat di Bukit Batu, wilayah Kabupaten Bengkalis. Kerajaan ini
diperintah oleh raja yang bernama Datuk Laksmana Perkasa Alam serta dibantu
oleh dua orang panglima yaitu Panglima Umar dan Panglima Hasan. Panglima Umar
adalah seorang panglima yang dipercaya oleh Datuk Laksmana Perkasa untuk
menyelesaikan sesuatu jika terjadi persoalan dalam kerajaan. Umpamanya jika
terjadi perampokan di perairan, setiap tugas dapat diselesaikannya dengan baik.
Pada suatu hari Panglima Umar menghadap Datuk Laksmana
untuk menyampaikan hasrat hati untuk mempersunting Zubaidah, seorang gadis
negeri itu. Permohonan Umar disambut dengan baik oleh Datuk Laksmana. Dengan
persetujuan Datuk Laksmana dilangsungkan pernikahan dan tanda kegembiraan
diadakan pesta dan keramaian besar-besaran.
Rupanya kepercayaan yang diberikan dan perkawinan Umar
dengan Zubaidah menimbulkan rasa tidak senang bagi Panglima Hasan, timbul
dendam. Hal ini timbul dikernakan (karena—pent.) rupanya Panglima Hasan juga
simpati dan mencintai Zubaidah itu. Rupanya apa yang diinginkan itu telah
didahului Panglima Umar.
Untuk melepaskan rasa sakit hati Panglima Hasan mencarai
akal bagaimana agar Zubaidah dapat dimilikinya, maka dengan akal busuknya
Panglima Hasan menyuruh Domo menyampaikan kepada datuk bahwa dia bermimpi agar
Datuk Laksmana membuat Lancang Kuning untuk mengamankan semua perairan dari
lanun. Apa yang disampaikan Pawang Domo diterima oleh Datuk Laksmana, sehingga
Lancang Kuning dikerjakan siang malam. Setelah Lancang Kuning hampir selesai
tersebar berita bahwa Batin Sanggoro telah melarang para pelaut untuk mencari
ikan di Tanjung Jati.
Dengan adanya berita ini Datuk Laksmana memerintahkan agar
Panglima Umar berangkat dan menemui Batin Sanggoro, sungguh berat hati Panglima
Umar untuk berangkat karena istrinya sedang hamil tua dan tak lama lagi ia akan
melahirkan, tapi karena tugas yang sangat penting, semua perasaan itu ditahan,
demi kerajaan yang tercinta.
Setelah berlayar beberapa hari sampailah Panglima Umar
kepada Batin Sanggoro dan diceritakan semua berita yang tersebar di Bukit Batu.
Mendengar cerita itu Batin Sanggoro terkejut, karena selama ini dia tidak
pernah melarang nelayan Bukit Batu menangkap ikan di Tanjung Jati. Mendengar
cerita Batin Sanggoro Panglima Umar termenung dan berpikir, apakah gerangan
yang terjadi di balik peristiwa ini? Melihat keadaan ini lalu Batin Sanggoro
menganjurkan agar cerita ini diselidiki dari mana asal mulanya, dan diselidiki sewaktu
perjalan pulang.
Rupanya apa yang disampaikan Batin Sanggoro dituruti
Panglima Umar, sewaktu perjalanan pulang Panglima Umar berkeliling karena
mencari siapa yang membuat berita itu, sehingga tidak dirasakan bahwa
(pent.—tulisan tidak jelas) perjalanan sudah satu bulan.
Malam ini tepat lima belas hari bulan purnama. Malam itu
Lancang Kuning akan diluncurkan ke laut. Di balai-balai telah banyak awak
(pent.—tulisan tidak jelas) kerajaan dan penduduk negeri untuk menyaksikan
peluncuran Lancang Kuning tersebut. Bermacam-macam hiburan daerah
dipertunjukkan. Semua (pent.—tulisan tidak jelas) penduduk negeri berkembira
kecuali Zubaidah, kerna suaminya Panglima Umar sudah satu bulan pergi dan
sampai saat ini belum juga kembali (pent.—tulisan tidak jelas) dan kerna itu
tidak pergi menghadiri acara peluncuran Lancang Kuning ke laut pada malam itu.
Setelah semua keperluan peluncuran Lancang Kuning disiapkan
Pawang (pent.—tulisan tidak jelas) Domo memberikan petunjuk kepada Datuk Laksmana.
Acara peluncuran diawali dengan tepung tawar pada dinding Lancang Kuning
kemudian dilanjutkan Panglima Hasan dan pemuka masyarakat lainnya. Selesai
tepung tawar dilanjtkan dengan pengasapan dan barulah semua yang hadir
diperintahkan supaya (pent.—tulisan tidak jelas) berdiri di samping Lancang
Kuning dan semua bunyi-bunyian dibunyikan. Dan semua yang telah memegang
Lancang Kuning mendorong, tetapi alangkah anehnya, Lancang Kuning tersebut
tidak bergerak sedikitpun. Hal ini dikerjakan berulang-ulang bahkan tenaga
sudah ditambah, namun Lancang Kuning tidak juga bergerak. Hadirin yan hadir
bmerasa heran dan bertanya-tanya, muka Pawang Domo merah padam.
Pawang Domo segera bersembah kepada Datuk Laksmana dan
berkata: ampun tuanku yang mulia! Rupanya Lancang Kuning tidak bisa diluncurkan
jika.... Jika apa Wak Domo? Kata Datuk Laksmana, katakanlah! Jika Lancang
Kuning ingin juga diluncurkan harus ada korban. Korban berapa ekor kerbau yang
diperlukan Wak Domo? Tuanku yang mulia, bukan kerbau. Wak Domo menghampiri
Datuk Laksmana dan membisikkan bahwa korban yang diperlukan adalah perempuan
hamil sulung—Datuk Laksmana tertunduk dan termenung serta berkata kepada Pawang
Domo—bahwa tidak mungkin itu dilakukan,
maka Datuk Laksmana memerintahkan agar peluncuran Lancang Kuning
diundurkan saja.
Setelah sebagian orang pulang, Panglima Hasan pergi ke
rumah Zubaidah dan didapatinya Zubaidah sedang duduk termenung. Zubaidah
terkejut dengan (pent.—tulisan tidak
jelas) kedatangan Panglima Hasan sambil berkata. Mengapa lagi kau ke sini
Panglima Hasan? Berkata Panglima Hasan: Zubaidah apa lagi yang kau tunggu
Zubaidah? Suamimu tidak akan kembali lagi, karena itu biar aku yang mejadi ayah
anakmu itu! Apa katamu panglima pengkhianat?
Biar saya mati (pent.—tulisan
tidak jelas) dari pada bersuamikan kamu! Apa? Jawab Panglima Hasan. Jika kamu
masih menolak permintaanku, kamu akan saya jadikan gilingan Lancang Kuning yang
akan diluncurkan ke laut.
Kerna Zubaidah tetap menolak permintaan Pangliama Hasan,
maka Zubaidah ditarik dan matanya ditutup dengan dibantu oleh pengawalnya,
setelah sampai di (pent.—kata “di” dengan lambang huruf tertutup garis hitam bekas fotocopy)
Lancang Kuning yang akan diluncurkan, Panglima Hasan mendorongkan tubuh
Zubaidah ke bawah Lancang Kuning dan ketika itu juga Panglima Hasan
memerintahkan supaya (pent.—tulisan
tidak jelas) Lancang Kuning didorong ke laut. Hanya didorong oleh beberapa
orang saja (pent.—tulisan tidak jelas) Lancang Kuning itu meluncur dengan
mulus.
Setelah Lancang Kuning sampai di laut tampaklah darah dan
daging Zubaidah berserakan di tanah dan ketika itu turunlah hujan serta
(pent.—tulisan tidak jelas) petir dan angin kencang serta bertepatan waktu itu
Panglima Umar merapat ke pelabuhan Bukit Batu.
Setelah perahu ditambatkan di pelabuhan Panglima Umar
langsung ke rumah untuk melihat istrinya dan anaknya yang telah ditinggalkan
selama sebulan, tapi setelah sampai di rumah, rumahnya kosong, dipanggilnya
Zubaidah tetapi tidak ada jawaban. Hati pnglima sudah mulai gelisah, maka ia
berangkat ke pelabuhan, di tengah jalan ia berpapasan dengan Panglima Hasan,
langsung Panglima Umar bertanya kepadanya, dimana gerangan istriku. Panglima
Hasan menceritakan, istrinya Zubaidah telah dijadikan gilingan Lancang Kuning
oleh Datuk Laksmana.
Mendengar cerita Panglima Hasan tersebut Panglima
Umar langsung pergi ke tempat peluncuran Lancang Kuning, didapatinya darah berserakan
alangkah sedih hati Panglima Umar melihat tubuh istrinya itu, disapunya darah
yang ada yang di tanah itu serta diusapkan ke muka serta berkata bahwa dia akan
membalas atas kematian istrinya itu kepada datuk laksmana, tetapi baru saja ia
berjalan dilihatnya Datuk Laksmana berjalan kearahnya.
Setelah mereka bertemu Panglima Umar langsung
menyerang Datuk Laksmana dengan pedang yang panjang ke perut Datuk Laksmana,
tanpa ada pembicaraan sedikit pun, akhirnya Datuk Laksmana mati di tangan
Panglima Umar, ketika itu juga datanglah Pawang Domo serta menceritakan segala
kejadian yang sebenarnya, bahwa yang menjadikan Zubaidah untuk gilingan Lancang
Kuning adalah Panglima Hasan, tanpa mengulur waktu Panglima Umar pergi mencari Panglima
Hasan.
Dari
kejauhan Panglima Umar melihat Panglima Hasan sudah bersiap-siap untuk
melarikan diri menuju Lancang Kuning tapi belum sempat melepaskan talinya Panglima
Umar telah sampai, dengan pedang terhunus sambil berkata: nah. . . malam ini. .
. engkau atau aku akan mati. Dengan disaksikan penduduk mereka berkelahi di
atas Lancang Kuning. Dan akhirnya Panglima Hasan dapat ditikam Panglima Umar
dan matinya jatuh ke laut.
Waktu itu
lah Panglima Umar melihat ke pantai dan berkata kepada orang yang ada di pantai
bahwa ia telah membunuh Datuk Laksmana karena perbuatan Panglima Hasan dan
Panglima Hasan pun sudah mati di tangannya, kerna itu ia akan pergi dengan
Lancang Kuning untuk selama-lamanya, dan ketika sampai di Tanjung Jati
datanglah ombak besar dan angin topan sehingga Lancang Kuning tersebut karam
dan ia bersama Lancang Kuning terkubur dalam laut Tanjung Jati serta kejayaan
kerajaan negeri bukit batu berangsur-angsur mundur dan akhirnya tinggal
setumpuk rumah saja lagi.
2.2. Analisis Naskah Melayu “Lancang Kuning” berdasarkan Teori
Strukturalisme
2.2.1. Analisis Plot pada Teks
Melayu “Lancang Kuning”
Plot atau
alur cerita merupakan salah satu unsur yang penting dalam sebuah karya sastra
fiksi, bahkan tak sedikit orang yang menganggap plot unsur terpenting sebagai
pembangun karya fiksi. Tinjauan struktural pun sering ditekankan pada
pembahasan plot. Stanton (dikutip Nurgiyantoro, 2010:113) mengemukakan bahwa
plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian , namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu menyebabkan terjadinya
peristiwa lain. Plot ini dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan
sikap-sikap tokoh utama cerita.
Peristiwa
demi peristiwa yang ditampilkan yang hanya mendasarkan pada urutan waktu belum
dapat dikatakan plot. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa-peristiwa tersebut
harus disiasati secara kreatif, sehingga menghasilkan sesuatu yang menarik dan
indah. Abrams (dikutip Nurgiyantoro, 2010:113) yang menyetujui adanya perbedaan
cerita dengan plot mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan
struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebgaimana terlihat dalam pengurutan dan
penyajian berbagai peristiwa tersebit untuk mencapai efek emosional dan efek
artistik tertentu.
Dalam teks
“Lancang Kuning” ini plot yang sangat menonjol adalah ketika Panglima Hasan
menjadikan Zubaidah gilingan Lancang Kuning dan dia mengatakan kepada Panglima
Umar bahwa Datuk Laksmana yang melakukannya menyebabkan Datuk Laksmana terbunuh
di tangan Panglima Umar tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu. Kemudian berita
itu diluruskan oleh Pawang Domo sehingga diketahuilah bahwa pelaku sebenarnya
adalah Panglima Hasan. Hal ini kembali menyebabkan terjadinya pembunuhan yang
dilakukan oleh Panglima Umar terhadap Panglima Hasan di atas Lancang Kuning.
Untuk lebih
jelas mengenai plot yang terdapat pada teks yang berjudul “Lancang Kuning” ini,
dapat kita runut peristiwa, konflik dan klimaks sebagai berikut.
1. Peristiwa
Sejauh ini
kita sering mendengar kata peristiwa maupuun kejadian
disebut-sebut oleh banyak orang dalam pembicaraan tentang karya fiksi, namun
belum diketahui secara jelas apa sebenarnya peristiwa itu. Dalam berbagai
literatur berbahasa Inggris sering dikemukakan penggunaan istilah action
(aksi, tindakan) atau event (peristiwa, kejadian) secara bersamaan atau
bergantian, walau sebenarnya kedua istilah itu menyaran pada dua hal yang
berbeda. Action merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh tokoh
manusia, misalnya memukul dan memarahi. Di pihak lain, event lebih luas
cakupannya menyaran pada sesuatu yang dilakukan dan atau dialami oleh manusia
yang terjadi diluar aktivitas manusia, misalnya peristiwa alam seperti banjir
dan tanah longsor. Dalam penulisan ini, kedua hal itu disederhanakan menjadi:
peristiwa atau kejadian. Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu
keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dikutip Nurgiyantoro, 2010:117)
Peristiwa
yang terjadi dalam teks “Lancang Kuning” ada enam, dimulai dari niat Panglima
Umar yang hendak mempersunting Zubaidah, seorang putri raja di daerah Bukit
Batu, wilayah Kabupaten Bengkalis, pada masa lampau. Suntingan Panglima Umar
terhadap Zubaidah diterima dan dilangsungkan pesta pernikahan secara besar-besaran.
Peristiwa kemudian beralih kepada perasaan Panglima Hasan yang terluka dan
sakit hati karena niatnya telah didahulukan oleh Panglima Umar. Dari rasa sakit
hatinya itu, muncul niat jahat Panglima Hasan dengan menyiarkan kabar bahwa
Batin Sanggoro telah melarang para pelaut untuk mencari ikan di Tanjung Jati.
Kemudian peristiwa beralih pada Batin Sanggoro yang tidak mengakui kebenaran
berita itu setelah ditanyakan oleh Panglima Umar. Sanggoro meminta Panglima
Umar mencari kebenaran berita itu, dari mana asal muasalnya. Perjalanan
Panglima Umar mencari kebenaran berita itu berlangsung selama sebulan. Selama
itu pula ia meninggalkan Zubaidah yang sedang hamil tua.
Di samping
peristiwa itu juga terdapat peristiwa lain yang dialami oleh Datuk Laksmana dan
masyarakat Bukit Batu. Ketika Datuk Laksmana mendapat berita dari Pawang Domo
untuk membuat perahu yang digunakan untuk mengusir para lanun dari perairan
Bukit Batu, maka perahu yang diberi nama Lancang Kuning itu dikerjakan siang
dan malam. Tetapi ketika Lancang Kuning sudah selesai dikerjakan dan hendak
diluncurkan ke laut melalui berbagai ritual, Lancang Kuning tetap tidak mau
meluncur ke laut karena membutuhkan korban dari seorang wanita yang sedang
hamil sulung. Peristiwa beranjak pada perbuatan Panglima Hasan yang
keinginannya untuk menjadi suami Zubaidah ditolak oleh Zubaidah kemudian
menjadikan Zubaidah sebagai korban untuk meluncurkan lancang Kuning ke laut.
Sesaat setelah kejadian itu, Panglima Umar kemmbali ke Bukit Batu dan mendapat
kabar dari Panglima Hasan bahwa istrinya telah dijadikan gilingan Lancang
Kuning oleh Datuk Laksmana. Kemudian peristiwa beranjak pada peristiwa
pembunuhan Datuk Laksmana dan Panglima Hasan oleh Panglima Umar. Sementara
peristiwa akhir dari kisah kerajaan Bukit Batu ini ditandai dengan kepergian
Pangkima Umar berlayar dengan Lancang Kuning dan tenggelam di perairan Tanjung
Jati serta mengakibatkan mundurnya kerajaan Bukit Batu.
2. Konflik
Konflik
juga termasuk salah satu unsur yang penting dalam sebuah plot. Peristiwa yang
terjadi berupa peristiwa yang fungsional, utama, atau kernel yang sangat
esensial dalam pengembangan sebuah plot. Konflik menyaran pada pengertian
sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan dialami oleh
tokoh-tokoh dalam cerita, yang jika tokoh-tokoh itu dapat memilih, ia memilih
peristiwa itu tidak akan menimpa dirinya (Meredith & Fitzgerald dikutip
Nurgiyantoro, 2010:122). Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada
pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan
aksi balasan (Wellek & Warren dikutip Nurgiyantoro, 2010:122). Dengan
demikian, konflik menyaran pada konotasi yang negatif, sesuatu yang tak
menyenangkan. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling
menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan
sebuah peristiwa. Adanya peristiwa tentu dapat menimbulkan konflik. Konflik
demi konflik yang disusul peristiwa demi peristiwa pada akhirnya dapat
menyebabkan konflik semakin meningkat dan mencapai klimaks.
Konflik-konflik
yang terjadi dalam teks Melayu “Lancang Kuning” mulai muncul ketika Zubaidah
dijadikan gilingan perahu Lancang Kuning oleh Panglima Hasan. Hal ini terjadi
akibat penolakan Zubaidah terhadap Panglima Hasan yang ingin menjadi suami
Zubaidah dengan alasan bahwa Panglima Umar takkan pernah kembali lagi. Zubaidah
menolak keras permintaan Panglima Hasan dan menyebabkan ia diseret ke pantai
untuk dijadikan gilingan Lancang Kuning. Zubaidah yang dijadikan gilingan
Lancang Kuning meninggal dengan mengenaskan. Daging dan darahnya berserakan di
pasir pantai. Seketika turun hujan dan serentak dengan kepulangan Panglima Umar
yang sudah merapat di pelabuhan Bukit Batu. Panglima Umar yang tidak menemukan
istrinya di rumah menemui Panglima Hasan secara tak sengaja. Pada saat itu
Panglima Hasan mengatakan bahwa istrinya telah dijadikan gilingan Lancang
Kuning oleh Datuk Laksmana. Perkataan Panglima Hasan mengundang amarah Panglima
Umar yang menyebabkan kematian Datuk Laksmana.
Dapat kita
lihat dari penjelasan di atas bahwa konflik muncul secara berurut. Konflik
pembunuhan Datuk Laksmana oleh Panglima Umar terjadi karena peristiwa yang
dipicu oleh Panglima Hasan yang menjadikan Zubaidah sebagai gilingan perahu
Lancang Kuning dan memfitnah Datuk Laksmana. Dari konflik ini dapat kita
ketahui karakter tokoh Panglima Hasan yang tidak bertanggung jawab atas
perbuatan yang telah ia lakukan. Panglima Hasan rela mengorbankan nyawa Datuk
Laksmana untuk menutupi kesalahan dirinya dan pura-pura tidak tahu atas kejadian
itu. Selain itu dapat juga kita lihat karakter tokoh Zubaidah yang rala mati
demi mempertahankan kehormatan dirinya dan rumah tangganya yang sudah ia bangun
bersama Panglima Umar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara
unsur-unsur intrinsik yang membangun sebuah karya fiksi. Unsur-unsur itu tidak
dapat berdiri sendiri karena melalui salah satu unsur kita dapat mengetahui
unsur pendukung lainnya.
3. Klimaks
Konflik dan
klimaks merupakan unsur yang paling penting dalam struktur pembangun plot.
Konflik demi konflik yang terjadi jika telah mencapai titik puncak dapat
menyebabkan terjadinya klimaks (puncak konflik). Dengan demikian terdapat
keterkaitan yang erta antara konflik dan klimaks. Klimaks hanya akan terjadi
jika terdapat konflik yang mendukungnya. Namun tidak semua konflik dapat
mencapai klimaks. Klimak, menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2010:127) adalah
saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat itu
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks merupakan
kejadian puncak yang menarik dan menegangkan dan biasanya tidak ada lagi
kejadian lain yang sama dengan klimaks. Kalau pun ada, itu hanyalah
kejadian/konflik ringan yang masih bisa diatasi sebagai peregangan untuk menuju
penyelesaian atau akhir dari sebuah cerita.
Klimaks
dalam teks Melayu “Lancang Kuning” terjadi ketika konflik-konflik yang diawali
oleh Panglima Hasan ini sudah semakin meruncing. Jika meninjau kembali
pembahasan penulis mengenai konflik-konflik yang terjadi dalam teks “Lancang
Kuning”, dapat kita lihat bahwa terbunuhnya Datuk Laksmana merupakan konflik
penegangan tetapi belum mencapai klimaks. Klimaks terjadi ketika Pawang Domo
yang melihat Datuk Laksmana sudah
terbunuh mengatakan kepada Panglima Umar mengenai hal yang sebenarnya,
yaitu Panglima Hasan lah yang menjadikan Zubaidah sebagai gilingan perahu
Lancang Kuning. Semakin beranglah Panglima Umar. Ia mencari Penglima Hasan dan
menemukannya ketika Panglima Hasan hendak melarikan diri bersama Lancang
Kuning. Tetapi usahanya sempat ditunda oleh Panglima Umar. Dengan sigap
Panglima Umar naik ke Lancang Kuning dan bertarung dengan Panglima Hasan.
Akhirnya pada pertarungan itu Panglima Hasan terbunuh dan mayatnya jatuh ke
laut.
Melalui konflik dan klimaks dapat kita lihat bahwa
Panglima Umar merupakan seseorang yang tidak sabar dan terlalu cepat
menyimpulkan suatu permasalahan. Ia membunuh Datuk Laksmana tanpa bertanya
terlebih dahulu mengenai kebenaran meninggalnya Zubaidah. Ia lebih memilih tak
lagi bicara dan langsung membunuh Datuk Laksmana sehingga Datuk Laksmana yang
tidak bersalah ikut menjadi korban amarahnya.
Dari
penjelasan peristiwa, konflik dan klimaks dapat kita simpulkan bahwa plot yang
terdapat dalam teks Melayu “Lancang Kuning” menggunakan plot lurus, yaitu plot
yang peristiwa-peristiwa dan konflik-konfliknya terjadi secara kronologis dan
dapat dengan mudah dirunut. Melalui plot juga dapat kita tentukan karakter
tokoh Panglima Umar, Panglima Hasan dan Zubaidah.
2.2.2. Analisis Tokoh pada
Teks Melayu “Lancang Kuning”
Tokoh
merupakan pelaku cerita. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.
Tokoh cerita, menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:165) adalah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang
dideskripsikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan
tersebut dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya
erat berkaitan dengan penerimaan pembaca.
Tokoh yang
terdapat dalam teks “Lancang Kuning” dibedakan berdasarkan penting tidaknya
tokoh ada Zubaidah dan Panglima Hasan sebagai tokoh utama serta Panglima Umar,
Datuk Laksmana dan pawang Domo sebagai tokoh tambahan. Dari penting tidaknya tokoh,
tentu saja dapat dilihat melalui peran masing-masing tokoh dalam mendukung
sebuah cerita. Seperti Panglima Hasan, perannya dominan karena sejak awal
Panglima Hasan selalu memulai untuk menimbulkan sebuah peristiwa dan
memunculkan konflik. Sementara Zubaidah adalah tokoh yang dijadikan korban dan
merupakan salah satu penyebab munculnya konflik yang terjadi antara Panglima
Hasan dan Panglima Umar. Dengan demikian, Panglima Hasan dan Zubaidah dapat
disebut sebagai tokoh utama. Tanpa Panglima Hasan memunculkan peristiwa dan
konflik maka cerita ini tidak akan menemukan klimaks. Begitupun Zubaidah, tanpa
peran Zubaidah yang dijadikan korban untuk gilingan perahu Lancang Kuning
Panglima Umar tidak akan marah dan membunuh Datuk Laksmana dan Panglima Hasan.
Sementara
itu, tokoh tambahan dalam cerita ini adalah Panglima Umar, Datuk Laksmana dan
Pawang Domo. Peran mereka tidak terlalu besar dalam cerita ini tapi cukup
fungsional karena tanpa mereka tokoh Panglima Hasan hanya akan melakukan hal
yang sia-sia. Jika Panglima Umar tidak ada, perbuatan Panglima Hasan tidak ada
yang menentang dan Panglima Hasan tidak mendapatkan aksi balasan dari tokoh
yang bertentangan dengannya. Hal yang sama juga berlaku pada Datuk Laksmana dan
Pawang Domo. Masing-masing mereka hanya dominan muncul pada proses peluncuran
Lancang Kuning ke laut. Kemudian muncul kembali pada bagian akhir cerita ketika
Datuk Laksmana muncul dan langsung dibunuh oleh Panglima Umar, sedangkan Pawang
Domo muncul setelah kejadian terbunuhnya Datuk Laksmana.
Berdasarkan
fungsi penampilan tokoh, tokoh dalam teks “Lancang Kuning” dapat dibagi menjadi
tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh antagonis dalam teks ini adalah
Panglima Hasan. Sangat jelas terlihat melalui percakapan tokoh dengan Zubaidah.
Selain itu karakter tokoh dapat dilihat melalui tingkah laku tokoh yang
memfitnah Datuk Laksmana sehingga menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh
Panglima Umar. Sikap tidak bertanggung jawab menjadi salah satu indikator bahwa
tokoh Panglima Hasan bukanlah seorang yang baik. Sementara itu, tokoh Panglima
Umar, Datuk Laksmana, Pawang Domo, dan Zubaidah merupakan tokoh protagonis
dalam cerita ini. Tidak tampak perbuatan masing-masing tokoh untuk berbuat
jahat. Tokoh Panglima Umar dinilai baik oleh penulis karena Panglima Umar
bersedia melakukan perintah Datuk Laksmana untuk mencari kebenaran berita
tentang larangan melaut di Tanjung Jati kepada Batin Sanggoro. Datuk Laksmana
dinilai baik karena ia tidak ingin mengorbankan siapapun demi kelancaran
peluncuran Lancang Kuning ke laut. Pawang Domo menunjukkan sikap baiknya dengan
memberitahu hal yang sebenarnya terjadi kepada Zubaidah. Sedangkan Zubaidah dinilai sebagai tokoh
protagonis karena ia berani mempertahankan kehormatan dirinya dan rumah
tangganya dengan Panglima Umar yang juga diajarkan oleh agama islam.
Tokoh-tokoh
ini dapat diketahui penggolongannya melalui dialog tokoh ataupun tingkah laku
tokoh terhadap tokoh lain. karakter tokoh juga dapat dilihat melalui
peristiwa-peristiwa yang menimbulkan konflik-konflik yang terjadi dalam cerita.
Ini membuktikan bahwa unsur tokoh dan plot memiliki keterkaitan yang erat dan
tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, seitap unsur instrinsik yang
mambangun sebuah cerita tidak dapat berdiri sendiri.
2.2.3. Analisis Latar pada
Teks Melayu “Lancang Kuning”
Berbicara
tentang sebuah karya sastra khususnya fiksi, akan berkaitan dengan latar yang
mendukung tempat terjadinya peristiwa atau konflik dalam cerita. Sebuah karya
fiksi tidak akan lengkap unsurnya tanpa ada latar yang menggambarkan tempat
terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Layaknya cerita yang terjadi dalam
keidupan nyata, karya fiksi juga memerlukan latar sebagai ruang bagi tokoh
untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Latar atau setting yang disebut
juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
(Abrams dikutip Nurgiyantoro, 2010:216). Sementara itu, Stanton (dalam
Nurgiyantoro, 2010:216) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke
dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat
diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.
Latar fisik
pada teks Melayu “Lancang Kuning” adalah Bukit Batu, daerah Kabupaten Bengkalis
dan Tanjung Jati. Naskah ini tidak jauh berbeda dengan cerita lisan masyarakat
Riau yang menyebutkan bahwa Lancang Kuning memang terjadi di daerah Bukit Batu
dan Lancang Kuning karam di perairan Tanjung Jati. Hal ini memperkuat teks yang
terdapat dalam naskah Melayu yang berjudul “Lancang Kuning” bahwa terdapat
kerajaan di Bukit Batu pada masa lalu. Tetapi pada dasarnya cerita ini hanyalah
fiktif pengarang yang tidak diketahui penulisnya. Penekanan unsur latar di
Bukit Batu dapat dilihat pada peristiwa peluncuran Lancang Kuning ke laut serta
sebagian besar kehidupan yang diceritakan dalam teks. Kemudian latar yang
menunjukkan daerah Tanjung Jati terdapat pada peristiwa ketika Panglima Umar
mendatangi Batin Sanggoro untuk menanyakan perihal kebenaran larangan untuk berlayar dan melaut
di perairan Tanjung Jati.
Latar di
Bukit Batu lebih dominan dijelaskan ketika Lancang Kuning hendak diluncurkan,
yaitu di pantai Bukit Batu. Latar dipilih sebuah pantai karena peristiwa yang
sedang terjadi adalah masyarakkat Bukit Batu hendak meluncurkan Lancang Kuning
ke laut. Lancang Kuning merupakan nama sebuah perahu, sehingga latar yang
dipilih adalah latar tempat di pantai.
Latar waktu
tidak digambarkan dengan jelas dalam teks ini sehingga tidak dapat dijelaskan
secara detil mengenai penggambaran latar waktu yang terdapat dalam cerita ini.
Hanya saja latar waktu disebutkan ketika peluncuran Lancang Kuning ke laut
dilakukan pada malam hari ketika tepat pada malam ke limabelas bulan purnama.
Sementara untuk tahun terjadinya peristiwa itu tidak disebutkan.
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan untuk menentukan latar terjadinya sebuah
peristiwa, kita tetap harus memperhatikan peristiwa apa yang sedang terjadi dan
berhubungan dengan latar itu, baik latar waktu maupun latar tempat.
2.2.4. Ananlisi Sudut Pandang
pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Membaca dua
buah karya fiksi yang berbeda akan memungkinkan kita menghadapi dua person ayng
berbeda pula. Persona itu dari satu sisi dapat dipandang sebagai tokoh cerita.
Di sisi tertentu, dapat juga dipandang sebagai si pencerita. Sudut pandang
menyaran pada sebuah cerita dilukiskan. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:248)
mengatakan bahwa sudut pandang merupakan cara dan atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar,
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca.
Sudut pandang yang digunakan pengarang
dalam teks Melayu “Lancang Kuning” ini berupa sudut pandang persona ketiga
serba tahu, gaya “dia”. Persona ketiga ini adalah orang berada di luar cerita
tapi serba mengetahui kejadian yang terjadi di setiap bagian cerita. Hal ini
dapat dikatahui dengan mudah karena pengarang menggambarkan tokoh dengan
menyebutkan nama tokoh. Dapat kita lihat pada kutipan cerita di bawah ini.
Malam ini tepat lima belas
hari bulan purnama. Malam itu Lancang Kuning akan diluncurkan ke laut. Di
balai-balai telah banyak awak (pent.—tulisan tidak jelas) kerajaan dan penduduk
negeri untuk menyaksikan peluncuran Lancang Kuning tersebut. Bermacam-macam
hiburan daerah dipertunjukkan. Semua (pent.—tulisan tidak jelas) penduduk
negeri berkembira kecuali Zubaidah, karena suaminya Panglima Umar sudah satu
bulan pergi dan sampai saat ini belum juga kembali (pent.—tulisan tidak jelas)
dan karena itu tidak pergi menghadiri acara peluncuran Lancang Kuning ke laut
pada malam itu.
Dari kutipan di
atas dapat dilihat secara jelas pengarang mengetahui kejadian yang bersifat
fisik atau pun keadaan batin yang sedang dirasakan/dialami oleh tokoh. Seperti
yang terdapat dalam cerita, pengarang mampu menggambarkan kegembiraan
masyarakat Bukit Batu karena diadakannya acara peluncuran Lancang Kuning. Semua
orang bergembira kecuali Zubaidah karena ia sedang menanti kepulangan suaminya
yang sudah sebulan meninggalkannya. Rasa sedih itu juga yang menyebabkan ia
tidak ingin menghadiri acara yang sedang digelar tersebut.
Dapat disimpulkan,
untuk menentukan sudut pandang kita masih membutuhkan unsur lain, misalnya
plot. Plot perlu diperhatikan dalam menentukan sudut pandang yaitu menunjuk
pada peristiwa apa yang sedang terjadi. Atau dapat juga kita perhatikan melalui
penceritaan nyata yang dilakukan oleh pengarang untuk melukiskan cerita yang
ditulisnya, misalnya melalui tokoh. Sudut pandang juga dapat dicermati melalui
peran-peran tokoh yang terdapat dalam cerita sehingga cerita tersebut
menampakkan sebuah kepaduan.
2.2.5. Ananlisis Tema pada
Teks Melayu “Lancang Kuning”
Berbicara
karya sastra fiksi tidak lengkap jika tidak berbicara tentang tema. Stanton dan
Kenny (dikutip Nurgiyantoro, 2010:66: mengatakan bahwa tema adalah makna yang
dikandung oleh sebuah cerita. Tema ini menjadi landas tumpu bagi pengarang
untuk membuat sebuah cerita. Tanpa tema, cerita tidak akan dapat dilukiskan
dengan baik karena tidak terdapat kejelasan konsep bagi pengarang untuk
melukiskan cerita. Dari sebuah tema, pengarang dapat menentukan plot, tokoh
cerita yang mendukung, latar yang mendukung terjadinya sebuah peristiwa atau
konflik, maupun amanat yang ingin disampaikan.
Tema yang
terdapat dalam teks “Lancang Kuning” berkisar pada sebuah kisah cinta dua
panglima kerajaan Bukit Batu terhadap Zubaidah, seorang putri raja Kerajaan
Bukit Batu, yang berujung dengan petaka dan kemunduran Kerajaan Bukit Batu.
Cerita digambarkan berawal dari suntingan Panglima Umar kepada Zubaidah yang
menyebabkan Panglima Hasan merasa sakit hati karena telah didahului oleh
Panglima Umar. Rasa sakit hatinya itu ia lancarkan dengan melakukan rencana
licik untuk memiliki Zubaidah. Tetapi hampir memasuki bagian klimaks, konflik
terjadi ketika Panglima Hasan membunuh Zubaidah dengan menjadikannya korban
untuk gilingan Lancang Kuning meluncur ke laut. Konflik ini memicu amarah
Panglima Umar yang membabi buta sehingga menyebabkan Datuk Laksmana ikut terbunuh
walaupun ia tak bersalah.
Penyimpulan
sebuah tema dalam karya fiksi dapat dilihat dari setiap konflik yang terjadi.
Dapat juga dari sebab-sebab yang mendukung terjadinya konflik tersebut. Semua
dapa dirunut sehingga menghasilkan satu ide. Ide yang satu dan padu itulah yang
kemudian disimpulkan sebagai tema dalam sebuah karya sastra. Selain peristiwa
dan konflik yang mendukung tema, tokoh dan latar juga mendukung tema. Misalnya
pada teks yang berjudul “Lancang Kuning” ini juga menggambarkan latar tempat di
pantai. Wajar saja tempat dipilih pantai, karena lancang adalah sebutan perahu
dalam masyarakat daerah Riau.
2.2.6. Analisis Amanat/Pesan
Moral pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Amanat/pesan
moral menurut Kenny (dikutip Nurgiyantoro, 2010:321) dimaksudkan sebagai suatu
saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang
dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.
Amanat biasanya disampaikan melalui sikap tokoh-tokoh yang mendukung jalan
cerita.
Pada teks
Melayu “Lacang Kuning” ini pengarang ingin menyampaikan amanat dari
masing-masing tokoh cerita. Misalnya Panglima Umar, melalui sikapnya yang
terlalu cepat mengambil keputusan dan tidak sabar mengakibatkan Datuk Laksmana
ikut terbunuh sementara Datuk Laksmana bukanlah orang yang harus disalahkan
atas kematian Zubaidah, pengarang ingin menyampaikan bahwa pembaca jangan
terlalu cepat mengambil sebuah keputusan. Apalagi pengambilan keputusan itu
dilakukan dalam keadaan marah. Keputusan yang diambil tidak akan baik.
Seharusnya sebelum melakukan sesuatu kita berpikir dengan cermat segala dampak
yang mungkin timbul jika kita melakukannya. Atau jika sedang dalam
permasalahan, ada baiknya permasalahan itu dibicarakan dengan baik-baik
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa berakibat buruk.
Pesan moral
lainnya yang ingin disampaikan oleh pengarang terdapat dalam sikap tokoh
Panglima Hasan. Melalui Panglima Hasan pengarang ingin menyampaikan bahwa sikap
tidak bertanggung jawab dapat mengakibatkkan sesuatu yang lebih buruk dari pada
perkiraan kita. Apalagi Panglima Hasan itu seorang panglima yang sudah
semestinya memiliki rasa tanggung jawab terhadap perbuatan yang sudah
dilakukan. Dalam menghadapi kehidupan, kita tidak dapat melarikan diri dari
kenyataan. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap bertanggung jawab untuk menghadapi
kehidupan ini. Entah itu yang sifatnya besar atau pun kecil terhadap kehidupan
yang sedang kita jalani ini.
Amanat yang
paling berhubungan dengan tema adalah janganlah kita menanamkan rasa cinta yang
berlebihan kepada seseorang. Apabila cinta itu tak kesampaian akan
mengakibatkan rasa sakit hati yang dalam. Apalagi Rasulullah telah mengajarkan
kita untuk tidak terlalu sayang atau benci terhadap seseorang karena bisa jadi
suatu saat perasaan kita menjadi terbalik dari perasaan sebelumnya.
III. Penutup
3.1. Kesimpulan
Melalui
semua analisis yang dilakukan penulis terhadap teks Melayu yang berjudul
“Lancang Kuning” dapat disimpulkan bahwa teks ini memiliki unsur-unsur
intrinsik yang tidak dapat berdiri sendiri. Terdapat hubungan yang erat antara
satu unsur dengan unsur yang lain. unsur-unsur itu memiliki keterkaitan
sehingga membentuk sebuah cerita yang padu dan menarik. Dapat kita perhatikan
dari unsur plot. Ternyata plot memiliki keterkaitan secara langsung dengan
unsur tokoh, latar maupun sudut pandang pengarang. Melalui plot, kita dapat
menentukan karakter tokoh yang terdapat dalam cerita. Melalui plot juga kita
dapat menentukan unsur latar yang digunakan pengarang sebagai tempat kejadian sebuah
peristiwa atau konflik. Melalui plot juga dapat kita tentukan sudut pandang apa
yang digunakan pengarang untuk melukiskan cerita yang dibuat.
Selain
plot, tema juga berhubungan secara langsung dengan latar dan amanat. Latar
tempat yang mendukung terjadinya peristiwa tidak dapat dikatakan tidak bahwa
latar juga mendukung tema yang terdapat dalam sebuah cerita. Jika latar
mendukung terjadinya sebuah peristiwa yang memunculkan konflik dan konflik
mendukung tema yang dibuat, secara otomatis latar juga berarti berhubungan
dengan tema sebuah karya fiksi. Intinya, setiap unsur instrinsik yang terdapat
dalam sebuah karya sastra khususnya fiksi, tidak dapat berdiri sendiri. Setiap
unsur itu saling menunjang dan mendukung unsur lain sehingga menghasilkan
cerita yang padu dan menarik untuk dibaca.
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
Univerisity Press.
Sudjiman,
Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa.
ting..tung.. nyari2 analisis ketemu blod adek satu ne.. segera dilahap :)
BalasHapus