Ketika hari itu tiba, aku iseng menulis sesuatu..
sesuatu yang sudah empat tahun terakhir mengganggu hidupku..
karena aku, masih saja tetap seorang anak!!!
Tanjungbatu Kundur, 22 November 1992—19 Tahun
telah berlalu
Hari
ini hari lahirku. Entah, apapun sebutannya untuk hari ini—ulang tahun, milad
atau apapun namanya—aku hanya berharap semua orang melupakan hari ini. Hari
yang sudah lama mati untuk ku peringati. Hari yang tak pernah istimewa untuk
dicermati. Hari yang semakin menambah luka pada hatiku, membuat aku menitikkan
setiap bulir air mata yang sudah ku janjikan bahwa aku akan terus menyimpannya.
Aku mengingkari janjiku hanya untuk membuang rasa maluku pada diriku sendiri.
Aku terlalu naif untuk mengakuinya!!
Aku
tak ingin kado apapun. Aku tak butuh jilbab atau buku sebagai hadiah ulang
tahunku. Aku tak ingin ini diperingati sebagai hari yang penting dalam hidupku.
Aku bosan! Aku hanya ingin hal yang sederhana, yang hanya mampu dipenuhi oleh
keluargaku sendiri. Aku ingin ayah mengembalikan kepercayaanku terhadap
cintanya padaku. Kembalikan kehangatan yang pernah ada walau sekejap. Aku bukan
tak percaya ayah masih menyimpan hal itu, bahkan mungkin itu takkan pernah
luput dan selalu ada dalam hatinya. Tapi kenapa selalu “yang itu-itu saja” yang
ia lakukan padaku, pada kami? Aku, Ibu dan kedua adikku. Ayah selalu menyakiti
perasaanku, perasaan anak-anaknya yang selalu ia abaikan. Yang tak pernah ia
ambil pusing tentangnya! Aku sudah lama mati untuk kembali merasakan
kehadirannya di hatiku. Mungkin aku memang anak yang jahat. Tapi itulah yang
aku rasakan. Maafkan aku ayah. Aku anakmu yang terlalu dingin hatinya untuk
meyakini bahwa ini semua hanya mimpi buruk di panggung Mahakarya Tuhan ini.
Andai
dapat ku putar waktu dan keadaan masih seperti selalu, baik-baik saja, aku
ingin terus berada di zona itu. Biarlah mereka mengatakan itu zona aman. Yang
penting baik bagi jiwaku. Aku tak ingin terus merasakan ini. Jiwaku sakit,
nelangsa. Tuhan, aku tahu Engkau masih menyimpan hal indah di balik semua ini.
Tapi jangan terlalu lama kau biarkan aku merapat pada kepedihan hatiku sebagai
seorang anak yang haus dan rindu kehangatan keluarga seutuhnya. Aku sudah
sembilan belas tahun hidup. Tapi hampir tiga per empat bagian hidupku ku lalui
bersama luka di sisi ruang hati yang tak pernah ku mengerti siapa yang
mengisinya. Apakah mereka keluarga, atau orang asing yang menjadi keluarga baru
untukku, aku tak pernah mengerti. Sejak kecil aku sudah terbiasa keluar rumah
untuk menjauhi hal-hal yang dapat merusak suasana hatiku. Aku takut,
sebenarnya. Aku takut semakin lama aku merasakan jauh dari mereka dan semakin
mendekat pada teman-temanku yang selalu menguhiasi hari-hariku.
Aku
tak pernah mampu bicara pada mereka. Aku terlalu mencintai mereka, hanya saja
aku tak tau bagaimana caranya aku harus mengungkapkan cintaku pada mereka. Aku
tak pernah belajar ataupun diajarkan bagaimana caranya untuk mengatakan sesuatu
yang membuat mereka mengerti betapa aku sangat mencintai mereka melebihi jiwaku
sendiri. Aku sudah memenuhi janjiku sebagai anak. Memenuhi janjiku untuk selalu
memenuhi keinginan dan tuntutan mereka. Tapi sedikit saja keinginan aku dan
adik-adikku untuk mengecap kehangatan keutuhan kebersamaan di rumah, tak
bisakah?? Oh ayah, oh ibu, maafkan jika aku terlalu egois menulis ini. Semoga
kalian senantiasa memaafkan kesalahanku dan semoga Allah selalu meridhoi
langkah ayah dan ibu untuk kembali meridhoi langkah kami. Aku mencintai
kalian...
Palembang, 22 November 2011
Bertepatan tanggal 25 Dzul Hijjah 1432 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar