Halaman

Powered By Blogger

Jumat, 16 Desember 2011

Hari yang dilupakan


Ketika hari itu tiba, aku iseng menulis sesuatu..
sesuatu yang sudah empat tahun  terakhir mengganggu hidupku..
karena aku, masih saja tetap seorang anak!!!


Tanjungbatu Kundur, 22 November 1992—19 Tahun telah berlalu

            Hari ini hari lahirku. Entah, apapun sebutannya untuk hari ini—ulang tahun, milad atau apapun namanya—aku hanya berharap semua orang melupakan hari ini. Hari yang sudah lama mati untuk ku peringati. Hari yang tak pernah istimewa untuk dicermati. Hari yang semakin menambah luka pada hatiku, membuat aku menitikkan setiap bulir air mata yang sudah ku janjikan bahwa aku akan terus menyimpannya. Aku mengingkari janjiku hanya untuk membuang rasa maluku pada diriku sendiri. Aku terlalu naif untuk mengakuinya!!
            Aku tak ingin kado apapun. Aku tak butuh jilbab atau buku sebagai hadiah ulang tahunku. Aku tak ingin ini diperingati sebagai hari yang penting dalam hidupku. Aku bosan! Aku hanya ingin hal yang sederhana, yang hanya mampu dipenuhi oleh keluargaku sendiri. Aku ingin ayah mengembalikan kepercayaanku terhadap cintanya padaku. Kembalikan kehangatan yang pernah ada walau sekejap. Aku bukan tak percaya ayah masih menyimpan hal itu, bahkan mungkin itu takkan pernah luput dan selalu ada dalam hatinya. Tapi kenapa selalu “yang itu-itu saja” yang ia lakukan padaku, pada kami? Aku, Ibu dan kedua adikku. Ayah selalu menyakiti perasaanku, perasaan anak-anaknya yang selalu ia abaikan. Yang tak pernah ia ambil pusing tentangnya! Aku sudah lama mati untuk kembali merasakan kehadirannya di hatiku. Mungkin aku memang anak yang jahat. Tapi itulah yang aku rasakan. Maafkan aku ayah. Aku anakmu yang terlalu dingin hatinya untuk meyakini bahwa ini semua hanya mimpi buruk di panggung Mahakarya Tuhan ini.
            Andai dapat ku putar waktu dan keadaan masih seperti selalu, baik-baik saja, aku ingin terus berada di zona itu. Biarlah mereka mengatakan itu zona aman. Yang penting baik bagi jiwaku. Aku tak ingin terus merasakan ini. Jiwaku sakit, nelangsa. Tuhan, aku tahu Engkau masih menyimpan hal indah di balik semua ini. Tapi jangan terlalu lama kau biarkan aku merapat pada kepedihan hatiku sebagai seorang anak yang haus dan rindu kehangatan keluarga seutuhnya. Aku sudah sembilan belas tahun hidup. Tapi hampir tiga per empat bagian hidupku ku lalui bersama luka di sisi ruang hati yang tak pernah ku mengerti siapa yang mengisinya. Apakah mereka keluarga, atau orang asing yang menjadi keluarga baru untukku, aku tak pernah mengerti. Sejak kecil aku sudah terbiasa keluar rumah untuk menjauhi hal-hal yang dapat merusak suasana hatiku. Aku takut, sebenarnya. Aku takut semakin lama aku merasakan jauh dari mereka dan semakin mendekat pada teman-temanku yang selalu menguhiasi hari-hariku.
            Aku tak pernah mampu bicara pada mereka. Aku terlalu mencintai mereka, hanya saja aku tak tau bagaimana caranya aku harus mengungkapkan cintaku pada mereka. Aku tak pernah belajar ataupun diajarkan bagaimana caranya untuk mengatakan sesuatu yang membuat mereka mengerti betapa aku sangat mencintai mereka melebihi jiwaku sendiri. Aku sudah memenuhi janjiku sebagai anak. Memenuhi janjiku untuk selalu memenuhi keinginan dan tuntutan mereka. Tapi sedikit saja keinginan aku dan adik-adikku untuk mengecap kehangatan keutuhan kebersamaan di rumah, tak bisakah?? Oh ayah, oh ibu, maafkan jika aku terlalu egois menulis ini. Semoga kalian senantiasa memaafkan kesalahanku dan semoga Allah selalu meridhoi langkah ayah dan ibu untuk kembali meridhoi langkah kami. Aku mencintai kalian...


Palembang, 22 November 2011
Bertepatan tanggal 25 Dzul Hijjah 1432 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar