Suatu hari, aku berjalan keluar rumah dan menemui seorang wanita paruh baya di seberang rumah. garis tuanya tampak jelas jika dipandang dari dekat. tapi, ia masih terlihat segar, tidak begitu tua dengan jenis pakaiannya yang sederhana namun sedap dipandang. Ia asik duduk di bangku seberang rumah, memandangi setiap motor yang lewat di hadapannya. Ku hampiri ia seraya bertanya, "Ibu, sedang menunggu siapa di sini?" Wanita itu tersenyum lalu menjawab sekenanya, "saya menunggu orang baik hati yang lewat di sini. nama saya Ica. panggil saya Bunda Ica." Bunda Ica bangkit, kemudian berlalu meninggalkanku.
Aku bingung. tak menangkap hal-hal yang bisa diterima akalku saat itu. Bunda Ica terlihat aneh dengan beberapa perkataan yang ia ucapkan padaku. tapi, belum lama aku hanyut dalam lamunanku, ia sudah kembali di hadapanku. "Kamu, masih ingin tetap di sini? Saya mau minta tolong." Suaranya sedikit parau, tapi tetap mencerminkan kelembutan seorang ibu. "Oh, Bunda. Saya kira sudah jauh. Oh, ya. sebelumnya, nama saya Luna. Apa yang bisa saya bantu, Bun?" Aku berusaha mencairkan ketegangan dari raut wajahku. "Luna. kamu orang baik, tolong jemput anak saya di sekolahnya ya. Namanya Acil. Usianya baru enam tahun. dia anak saya satu-satunya, anak yang cerdas. dia sekolah di SDN 03 Kalibata. sebentar lagi saya mau pergi." Bunda Ica lagi-lagi tak memberiku ruang untuk mengenalnya, siapakah Bunda Ica sebenarnya? Batinku...
Entah mengapa, aku tak ingin menolak permintaan Bunda Ica. Aku pergi ke sekolah Acil, berniat menjemput Acil kecil yang aku tak tahu bagaimana rupanya. Aku berusaha bertanya pada guru-guru di sana. Acil kecil, rupanya lucu sekali. "Assalammu'alaikum. Adik kecil namanya Acil ya?" Sapaku padanya seraya berlutut di hadapannya, menyesuaikan tinggi badannya dengan tinggiku. "Iya, kakak ini siapa? Mana Bundaku?" Acil terus saja bertanya, hingga ia mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya dan pulang bersamaku. menunggu Bunda Ica di rumahku dan berharap ia akan segera kembali menemui Acil, meredam kerinduan bocah enam tahun itu.
Sudah seharian aku menunggu, sejak Acil pulang sekolah pukul 11.15 siang tadi. Aku tak mendapati Bunda Ica duduk di bangku seberang rumah dari balik tirai jendelaku. kemanakah Bunda Ica sebenarnya? Mengapa sampai detik ini ia belum kembali menemuiku dan Acil? beragam pertanyaan mulai menghantui pikiranku. Acil kecil terus saja menanyakan kapan bundanya pulang. tapi, aku berusaha meyakinkan, bundanya hanya pergi hari ini dan akan kembali sesegera mungkin.
Jam dinding ruang tengah mulai menunjukkan pukul 20.00 wib. sepertinya Bunda Ica tidak akan kembali malam ini. Acil masih belum tidur, ia mencemaskan bundanya. "kak, Bundaku kemana? Aku takut bunda pergi. Aku udah ga punya ayah. ayah pergi ninggalin Acil dan Bunda. bunda ga boleh ninggalin Acil." Aku dikejutkan dengan pernyataan Acil kecil yang lugu ini. ternyata Acil juga sama sepertiku. korban brokenhome...
ku peluk Acil kecil. sejenak aku merasakan aku jatuh hati padanya. Turut merasakan apa yang ia rasakan dalam usia yang begitu muda, terlalu mentah untuk menelan semua kepahitan dunia tak berhati ini.
"Acil, malam ini tidur sama kakak aja ya? Bunda mungkin baru bisa pulang besok. Bunda pasti pulang." Aku tersenyum dan membelai lembut kepala acil dengan kasih sayang. lelahnya Acil dalam penantian akan bundanya, mengantarnya tidur pulas malam ini.
***
beberapa waktu berlalu. tapi Bunda Ica tak pernah kembali. hingga siang itu aku mendapatkan kabar seorang warga menemukan Bunda Ica di sebuah warung tak bertuan, sekarat. sebilah pisau menembus perutnya bagian kiri. sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Bunda Ica menghembuskan nafas terakhirnya. di hadapanku dan Acil. tapi Acil tidak mengerti, mengapa Bundanya berlumuran darah dan semakin sejuk wajah sendunya. Pucat. Acil hanya mampu mendengarkan suara sirine dan menatap kosong pada airmataku yang jatuk di tangannya ketika ia duduk di pangkuanku.
Bunda Ica sudah pergi. meninggalkanku satu-satunya warisan yang tak ternilai harganya dari harta apapun. seorang anak kecil dengan keluguan dan kejujuran tak terbantahkan. tapi, berkat keluguan itu, pagi ini aku dikejutkan dengan sebuah pertanyaan dari seorang anak berusia 6 tahun yang baru saja ditinggal oleh ibunya dua hari yg lalu. “kak, aku kan masih kecil. Kenapa Bunda ninggalin aku? Apa Bunda ga sayang Acil?” sontak, aku hanya terdiam, kelu. Bagaimana bisa anak sekecil ini sudah berpikiran demikian? Lantas ku jawab, “Bunda Acil ga ninggalin Acil kok. Bunda hanya pergi dan menanti Acil di surga. Acil harus jd anak baik untuk bisa bertemu Bunda di surga. Karena Bunda sangat sayang sama Acil kalau Acil jadi anak baik dan pintar. Yang penting, Acil terus doakan Bunda, ya?” Ia mencoba memahami itu, tapi Acil masih terlalu kecil untuk paham. Ia hanya mengangguk, senyum dan memelukku pelan.
Allahummaghfirlaha....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar