Ini malam yang tak jauh berbeda dengan malam-malam biasanya. Langit masih pekat memayungi bumi dan rumah-rumah tempat orang-orang memejamkan mata. Bintang masih menghiasi langit, meski tak banyak. Bulan pun masih saja menjadi sahabat terbaik malam yang hanya akan berpisah ketika Rabb-nya menghendaki itu. Dan ini masih malam yang sama yang telah memayungi engkau sejak 32 hari lalu senyummu menjadi kenangan terakhir. Sejak itu, tak putus pula malam-malam itu mengingat engkau sebagai puisi paling indah mahakarya Sang Penyair Agung.
Engkau dan puisi adalah ciptaan indah tanpa nama atau gelar. Engkau adalah puisi, dan puisi itu selalu engkau. Kini puisi itu benar-benar menyatu bersamamu. Ia bersemayam jauh di dalam lemari ingatan paling puncak. Sebab ia selalu kuletakkan di posisi paling atas agar mudah kutarik lembaran-lembaran puisi tentangmu.
Aku jadi mengingat kisah kita tatkala puisi selalu menjadi andalan kita mengikuti moment-moment dan event-event yang tak seberapa. Misalnya memperingati hari ulang tahun HMPSBI, Koin Sastra, atau sekedar mengikuti lomba untuk menambah koleksi piala di sekret himpunan kita. Puisi (baca: musikalisasi) andalan kita saat itu adalah Laut dan Langit-nya Anwar Putra Bayu. Aku selalu menjadi pengisi suara dua yang mengiringi engkau berpuisi. Saat itu, yang aku tau hanyalah engkau begitu hebat membacakan puisi itu dengan meniupkan jiwa di dalamnya. Selalu aku lirih: aku ingin sekali mampu membaca puisi sepertimu. Berkali-kali kita bawakan puisi itu untuk sekedar membuktikan bahwa kita memang orang-orang seni dan mencintai sastra.
Di sela-sela larik yang dilagukan selalu ada jeda yang kau isi dengan membaca puisi. Hingga rangkaian itu menjadi indah bersama musik dan syair. Setiap kali menyanyikan itu, aku selalu bangga. Sebab tak ada kami tanpamu, dan kita menjadi bagian yang saling melengkapi.
Kini, jeda itu kosong. Sebab engkau telah menjadi puisi yang kutulis dan kubawakan pada malam-malam hening penuh pinta. Tapi bagian itu menjadi tidak lengkap, sebab engkau membawa pergi kepingannya. Sementara kami, belum mampu mengisi jeda itu dengan yang lain. Jadi, bukan salah siapa-siapa jika yang tersisa hanya syair dan musik. Dan bagian itu masih saja kosong, dan mungkin ia menjadi tiada.
Aku baru saja membuka rekaman video kita saat sedang latihan musikalisasi puisi di rumah kita. Engkau selalu dengan gayamu yang khas: Memenuhi sajak dengan ruh yang kautiupkan di dalamnya. Dalam memori itu, Kuda Putih-nya Afnaldi Saiful, dan lagi Laut dan Langit-nya Anwar Putra Bayu yang menemani kita. Aku benar-benar merindukan puisi. Entah sejak bila. Mungkin sejak sajak itu engkau bawa bersamamu. Sejak sajak itu terbang tertiup angin dan menyisakan bau kenangan yang mendalam.
Sebab engkau dan puisi, adalah satu...
Sebab Ada Puisi di Keningmu...
Palembang, 6 Juni 2013
Pk. 02.02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar