Teeeet... teeeet... bel masuk
berdering keras dari ruang tata usaha sekolah. Kiya tak berusaha bergegas masuk
ke kelasnya. Ada hal yang ia ingin tahu sebelum masuk ke kelas. Segera Kiya
menuju musholah di sekolahnya untuk mengintip segala aktivitas remaja rohis
sekolahnya.
Dipandanginya lekat-lekat wanita berjilbab
berusia 27 tahun yang sedang duduk di samping lemari kitab, Alqur’an dan
Hadits, Bu Zahra. Kiyara merasakan hal yang tidak biasa ketika ia memandangi Bu
Zahra. Seperti ada sesuatu yang menyihirnya. Didengarnya sayup-sayup Bu Zahra
melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an. Terlena, tak ia sadari Lusi
menghampirinya.
“Ki, kamu lagi apa di sini?”
Lusi memegang pundak Kiyara sambil mengernyitkan dahinya. Ia heran dengan
tingkah Kiya yang asik memandangi Bu Zahra. Entah, mungkin Kiya terlalu khusyuk
dengan pemandangannya, sehingga pertanyaan Lusi tak ditanggapinya.
“HELLOOO!!! KIYARA
MARGARETHA!!!” Pekiknya, sehingga membuat Bu Zahra mengalihkan pandangan ke
arah mereka. Kiya melonjak kaget. “Ada apa sih, Ci? Gak usah pake teriak bisa
kan?” Kiya berlari meninggalkan Lusi yang akrab ia panggil Uci itu setelah
sebelumnya memandang wajah Bu Zahra. Lusi menyusulnya dari belakang. Mereka
masuk ke kelas.
Kiya langsung mengambil tasnya
dan memutuskan untuk duduk di samping Nurma, seorang gadis muslimah di
kelasnya. “Ada apa, Ki?” tanya Nurma sembari melempar senyum pada temannya yang
baru saja masuk ke kelas. “Nur, aku boleh nanya gak?” Kiya kembali bertanya
pada Nurma. “tentu saja boleh. Ada apa?” timpal Nurma. “Islam itu gimana sih?”
tanyanya singkat. Nurma agak terkejut dengan pertanyaan Kiyara. Karena
sebenarnya Kiya adalah seorang penganut agama Katholik.
“Ada apa dengan pertanyaanku,
Nur?” Kiya kembali bertanya karena Nurma tak segera menjawab. “Oh, gak apa-apa.
Saya hanya kaget dengan jenis pertanyaanmu.” Nurma segera menjawab pertanyaan
Kiya. “Aku ingin masuk Islam.” Ujarnya singkat pada Nurma. Nurma semakin heran
dengan Kiya. Ia tidak serta merta mensyukuri apa yang baru saja ia dengar. Ada apa ini? Apa yang ada dalam pikiran Kiyara
sebenarnya? Sungguh-sungguhkah Ia? Atau hanya sekedar bercanda padaku?...
Pertanyaan-pertanyaan itu seketika memenuhi pikirannya. Ditatapnya dalam-dalam
nanar mata Kiyara.
“Aku serius, Nur. Aku ingin
memeluk agama Islam. Aku ingin menganut kepercayaan yang kamu anut. Aku ingin
bisa mengenal Tuhanmu. Aku ingin bisa belajar mengaji pada Bu Zahra.” Kiya
berbicara panjang, seolah ia bisa menangkap semua pertanyaan yang ada di dalam
benak Nurma. Bu Zahra? Apa beliau yang
selama ini ingin didekati oleh Kiyara?... Nurma kembali hanyut dalam
pertanyaan-pertanyaanya.
“Teman-teman, hari ini Bu
Rosmidah sedang berhalangan masuk. Jadi kita hanya diberikan tugas mengarang
dan dikumpulkan pada pertemuan berikutnya.” Andika berbicara dari depan kelas
menyampaikan informasi yang diamanahkan kepadanya selaku ketua kelas. Kiyara
dan Nurma tidak terlalu memperhatikan pengumuman itu. Mereka hanyut dalam
pikiran masing-masing.
“Apa kamu bisa membantuku
untuk mempelajari Islam, Nur?” Kiya kembali angkat bicara, memecahkan kesunyian
antara mereka berdua. “Apa kamu sungguh-sungguh untuk memeluk agamaku, Ki?
Bagaimana dengan kedua orangtuamu? Bagaimana jika mereka marah dan menganggapmu
sebagai anak yang durhaka? Tentu kamu harus membicarakan hal ini pada mereka.”
Nurma kembali bertanya untuk memastikan keputusan temannya itu. “Aku sudah lama
membicarakan hal ini pada mereka dan mereka menolaknya. Aku memutuskan untuk
berada di jalanku sendiri. Aku akan memilih hidupku sendiri.” Jawabnya lirih. “Kalau
begitu, besok datanglah ke rumah Bu Zahra. Dan berpakaianlah seperti caraku
berpakaian.” Nurma memegang pundak Kiyara dan berlalu pergi.
***
Hari ini Kiya datang ke rumah
Bu Zahra memenuhi rekomendasi Nurma. Di sana sudah ada Nurma, Bu Zahra dan
suaminya serta seorang ustad yang akan membimbing Kiya mengucapkan kalimat
syahadat dan beberapa tetangga Bu Zahra yang hadir sebagai saksi hari
bersejarah itu. Rupanya Nurma sudah menceritakan hal itu pada Bu Zahra dan
meminta bantuan Bu Zahra untuk membantu Kiyara. Kiyara terlihat anggun dengan
pakaian muslimah serba putih. Tapi ia terlihat agak pucat. Mungkin ia merasa
tegang karena sebentar lagi akan meninggalkan agama yang dibaptiskan oleh kedua
orangtuanya.
Kiyara duduk di samping Nurma.
Ia tampak gelisah. Tangannya dingin. Nurma segera menenangkan Kiya yang sedang
gundah. Mereka pergi keluar rumah menuju sebuah masjid yang dekat dengan rumah
Bu Zahra. Untuk pertama kalinya, Kiyara merasakan hawa sejuk memasuki Rumah
Allah.
Acara di dalam masjid
berlangsung khidmat. Bu Zahra, Nurma dan yang lainnya menitikkan airmata
bahagia. Terharu dengan kejadian yang baru saja mereka saksikan. Tak terkecuali
Kiyara. Ia sesenggukan mengucapkan hamdallah. Di dalam masjid berdengung lafadz
hamdallah. Suasana hening. Ustad memberikan sebuah nama yang cantik pada Kiyara,
Zakiyah Nurmi. Tak mengubah nama panggilannya, Kiya. Kiya menghampiri Bu Zahra
dan menyalaminya. “Selamat ya nak, sekarang kamu mualaf. Belajarlah
sungguh-sungguh di agama Allah. Agama yang benar. Semoga Allah mempermudah
jalanmu untuk beristiqomah menjadi seorang muslimah.” Bu Zahra memegang kedua
pipi Kiya dan mengusap airmata Kiya, lalu dipeluknya gadis itu seperti anaknya
sendiri. Kiya beranjak menyalami Nurma seraya berkata, “Nur, terima kasih telah
membantuku.” Ia lalu memeluk Nurma seperti saudaranya yang telah lama hilang
dan baru ia temukan. Kiya tenggelam dalam pelukan Nurma. Nurma yang sejak tadi
tak dilepasnya menyadari hal itu. “Ki, sudahlah, lepaskan saya.” Nurma berusaha
melepas pelukan Kiya. Dan ternyata.... “Astagfirullah, Ki. Kiya Bangun, Ukh.” Nurma terkejut. Kiya jatuh pingsan
di pangkuannya. Wajahnya pucat sekali. Tangannya semakin dingin. Airmata yang
membasahi pipinya menghiasi wajahnya yang anggun terbalut jilbab putih. Kiya
segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Beruntung letak rumah sakit tidak
terlalu jauh dengan masjid. Hanya butuh waktu selama lima belas menit untuk
sampai ke sana.
Bu Zahra dan Nurma menanti
cemas di luar ruang ICU . Kiya di
dalam sedang diperiksa oleh dokter. Tampak dari luar seorang perawat menusukkan
jarum infus pada tangan Kiya. Dan dokter memeriksa detak jantung Kiya. “Ya
Allah, jangan Kau Uji anak itu dengan hal yang tidak ia sanggupi.” Lirih Bu
Zahra dalam doanya. “Bu, tenanglah. Percayalah semua akan baik-baik saja. Kita
doakan saja semoga Zakiyah tidak apa-apa.”Nurma berusaha menenangkan hati Bu
Zahra. “amin...” timpal Bu Zahra
Tak lama pintu ruang ICU berderit. Seorang perawat keluar
dari ruangan itu. Dan disusul oleh dokter. “Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya
Bu Zahra cemas. “Maaf , Bu. Mari ikut ke ruangan saya. Ada hal serius yang
harus saya bicarakan.”Dokter itu menjawab dengan raut wajah yang tegang.
“Begini, Bu. Keadaannya sangat
mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang saya lakukan, Zakiyah
mengidap penyakit kanker otak stadium tiga.” Dengan raut wajah tegang dokter
menyampaikan berita tersebut. “Innalillahi
wa innailaihi roji’uun, sebegitu parahkah penyakit yang dideritanya, Dok?”
Bu Zahra tampak kaget dan sedih. Baru saja ia melihat Kiya merasakan
kebahagiaan. Tapi kini ia tengah di uji oleh Sang Khalik. Ujian yang takkan
pernah ia duga sebelumnya.
Bu Zahra tak dapat menahan
airmatanya. Ia menangis mengenang Kiya yang sedang terbaring lemah tak berdaya
di ruang ICU. Ia masuk ke ruangan
itu. Ruang pucat berwarna putih lengkap dengan peralatan medis di tubuh Kiya.
Pelan-pelan ia dekati gadis itu. Ditatapnya wajah Zakiyah yang pucat pasi itu.
Dalam, semakin dalam ia merasakan jatuh cinta pada gadis itu. Ingin dipeluknya
Kiya, tak ingin dilepasnya lagi. Tapi Bu Zahra segera menyadari. Orangtua Kiya belum mengetahui tentang hal ini. Segera
ia merogoh tasnya dan mengambil handphonenya.
Ditekannya beberapa nomor, nomor telepon rumah Kiya.
“Halo, dengan siapa saya bicara?”
terdengar suara dari seberang. “Saya Bu Zahra, guru Kiya di sekolah. Bisa saya
bicara dengan orangtua Kiya?” Bu Zahra menjawab lembut. “Maaf Bu, saya dulu
memang orangtua Kiya. Tapi Kiya kami sudah mati. Kami sudah tidak mempunyai
anak bernama Kiya lagi. Selamat sore.” Terdengar suara gagang telepon dibanting
dari seberang. Ibu Kiya berbicara dengan nada yang tinggi. Ia marah. Belum
sempat Bu Zahra mengabarkan berita itu, telepon sudah terputus.
Astaghfirullah... lirih
Bu Zahra dalam hati. Kini ia bingung bagaimana dengan Zakiyah. Keluarganya
sudah tidak mau menerima Kiya sebagai seorang anak. Hal ini berarti, ia yang
harus merawat Kiya. Menemani Kiya melewati hari-hari sulitnya.
Jam menunjukkan pukul 8 malam.
“Allah... Allah...” Lirih Kiya yang baru saja siuman. Ia memanggil Allah seolah
ia telah lama menjadi seorang muslimah. “Subhanallah, Ki. Alhamdulillah, kamu
sudah sadar, nak?” Bu Zahra menutup qur’annya. Ia mendekati Kiya dan
menggenggam tangannya. “Bu, Kiya ada di mana? Kepala Kiya sakit sekali.” Kiya
memegang kepalanya dan berucap lirih, hampir tak terdengar. “Kamu jangan banyak
bicara dulu. Istirahatlah. Biar kamu bisa sehat lagi.” Bu Zahra mengelus pipi
Kiya. Dikecupnya kening Kiya dan ia kembali membuka Qur’annya, melanjutkan
bacaannya. Kiya kembali hanyut dalam lantunan ayat suci Alqur’an dan kembali
tak sadarkan diri.
Dalam alam bawah sadarnya,
Kiya berada di suatu tempat yang tak pernah ia lihat sebelumnya di bumi. Tempat
yang begitu indah dan sejuk. Tak seindah pemandangan di bumi. Banyak pintu di
sana. Seorang wanita memanggilnya dari salah satu pintu. Wanita cantik seperti
bidadari. “Assalammu’alaikum... Kiya kemarilah.” Panggilnya dengan senyum yang
paling indah yang pernah Kiya lihat. Bau harum melati semerbak mengitari
langkah Kiya. Kiya hanya tersenyum pada wanita itu. Ia berusaha mendekati pintu
itu, tapi langkahnya terhenti, karena Ia tak bisa masuk ke sana. “Izinkan saya
masuk. Saya ingin masuk ke sana. Saya ingin melihat apa yang ada di dalamnya.”
Pinta Kiya dengan nada memelas. “Mohonlah pada Tuhanmu. Dia lah Pemilik alam
ini.” Pintu itu lalu tertutup. Tapi suara yang Kiya dengar terus berdengung
hingga ia kembali siuman setelah dua hari tak sadarkan diri.
“Allahu akbar...” Kiya kembali
siuman dan bertakbir. Bau harum melati masih tercium di ruangan itu. Kali ini
Nurma yang mendampinginya. “Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Ki.” Nurma
meggenggam tangan Kiya. Dan memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Kiya.
“Mana Bu Zahra? Saya mau bicara. Saya butuh bantuan Bu Zahra, Nur.” Lirihnya terbata-bata.
Wajahnya pucat. Tapi tak memudarkan kecantikan paras Kiya. Bu Zahra sedang
tidak di sini. Saya baru saja menggantikan beliau. Bu Zahra kelelahan menjaga
kamu dan belum pulang ke rumah. Jadi saya meminta beliau untuk beristirahat di
rumahnya.” Nurma menjawab dengan pelan.
Nurma hanyut dalam pikirannya
sendiri. Ditatapnya dalam-dalam Zakiyah Nurmi yang sedang lemah tak berdaya. Ya Allah, berikanlah Kiya kesempatan untuk
menjalankan perintah-Mu dan beristiqomah di Jalan cinta para pejuang. Doa
Kiya dalam hatinya. “Nur, saya ingin sholat.” Kiya memudarkan lamunan Nurma.
Nurma tersentak. Subhanallah, dalam
keadaan seperti ini pun Kiya berusaha menegakkan ajaran Allah. Tak sedikitpun
Ia bergeming dengan semangatnya. Ya Rabb, Berkahi umur Zakiyah… pikirnya
dalam hati. “Baiklah, Ki. Mari saya bantu.” Nurma berusaha membantu Kiya untuk
bertayamum. Selesai tayamum, Kiya sholat. Ia sholat seperti bukan cara seorang
muallaf yang baru belajar islam. Kiya sholat sambil berbaring. Nurma merasa
heran. Ia takjub pada Kiya. Sepertinya
Kiya sudah lama mempelajari Islam. Pikirnya.
***
Nurma duduk di beranda kamar
Kiya yang terletak di Lantai tiga. Di dalam ruang rawat inap Kiya ada Bu Zahra.
“Kiya, bagaimana keadaanmu sekarang?” Bu Zahra bertanya dengan lembut. “Saya
baik-baik saja, Bu.” Jawab Kiya lemah. Ibu sudah tahu tentang semua yang
terjadi dari Nurma. Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal bersama ibu. Kebetulan
suami ibu sedang tugas di luar provinsi dalam waktu setengah tahun ini.” Bu
Zahra menawarkan bantuan pada Zakiyah. “Ibu sungguh-sungguh ingin mengajak saya
tinggal bersama ibu?” Mata kiya bersinar mendengar tawaran Bu Zahra. “Iya, Ibu
sungguh-sungguh.” Bu Zahra menjawab singkat dengan senyumnya yang sangat khas.
Tak terasa, waktu sudah
berjalan selama sebulan sejak Kiya menjadi seorang mualaf. Keadaannya berangsur pulih. Dokter sudah
mengizinkan Kiya pulang. Mimpinya saat itu tak dihiraukannya lagi. Kiya hanya
merasakan kebahagiaan yang selama ini belum pernah ia rasakan. Semua barang-barangnya sudah dibereskan.
Sebuah mobil dengan plat nomor BM 2471 RA telah menunggu mereka di depan pintu
rumah sakit. Kiya pulang bersama Bu Zahra, tinggal bersama Bu Zahra. Jalanan
basah, hari sepertinya tak sebahagia hati Zakiyah. Langit kelabu menandakan
hujan masih akan turun. Sepanjang jalan, Kiya memang tak banyak bicara.
Meskipun ia senang, tetapi ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Kiya masih
belum tahu tentang kesehatan dirinya sendiri. Ia sempat menanyakannya pada Bu
Zahra, tetapi Bu Zahra masih ingin merahasiakannya dari Kiya. Bu Zahra yang
sejak tadi membaca tafsir hadist menyadari bahwa Kiya sejak tadi hanya diam.
Tetapi, belum sempat Bu Zahra bertanya, mobil mereka sudah masuk ke pekarangan
rumah Bu Zahra.
“Ayo, Ki. Kita sudah sampai di
rumah ibu.” Bu Zahra menyadarkan lamunan Kiya. Kiya dan Bu Zahra turun dari
mobil dan masuk ke rumah. Belum sempat mereka masuk, Kiya angkat bicara. “Bu,
sebenarnya saya sakit apa?” Pertanyaan yang sangat singkat tetapi cukup membuat
Bu Zahra terpaku untuk menjawabnya. Tapi Bu Zahra berhasil mengatasi semua
perasaannya terhadap Kiya. “Ayo nak, kita masuk dulu. Kamu pasti sangat lelah.”
Bu Zahra berusaha mengalihkan perhatian dari pembicaraan mereka. Untungnya Kiya
menuruti semua yang dikatakan oleh Bu Zahra.
“Bu, saya mau sholat. Sekarang
sudah masuk waktu zuhur.” Kiya tak merasakan lelah sedikitpun untuk
melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah, seorang mualaf. “Baiklah,
kamu ikut Ibu. Ibu akan mengantarkan kamu ke kamar yang akan kamu tempati.” Bu
Zahra dengan senang hati menyambut keinginan Zakiyah untuk sholat. Mereka
sholat berjama’ah. Usai sholat, Bu Zahra meminta Kiya untuk beristirahat.
Karena Kiya masih belum boleh terlalu lelah. Kondisi tubuhnya tidak memungkinkan ia
beraktivitas terlalu banyak.
***
Hari berlalu begitu cepat.
Sebulan sudah Kiya berada di rumah Bu Zahra. Menjalani hari-harinya bersama Bu
Zahra, orang yang sangat ia kagumi. Keinginannya untuk belajar sholat dan
mengaji pada Bu Zahra tersampaikan. Ia merasa hari-hari yang dilaluinya sangat
bahagia. Tidak seperti ketika ia menjadi seorang Katolik. Hatinya jauh lebih
tentram, karena Kiya hidup bersama orang-orang yang sangat menyayanginya.
Kesehatan Kiya sangat baik. Ia tak menunjukkan sedikitpun gejala dan
tanda-tanda bahwa dirinya adalah seorang penderita kanker otak stadium tiga.
Hari-harinya kembali seperti biasa. Kiya mulai berkumpul bersama teman-temannya
di sekolah. Kini Kiya sudah mengenakan
hijab, seperti Nurma. Dan Kiya terlihat cantik dengan dirinya yang
sekarang, seorang muslimah.
Kedamaian hati yang ia rasakan
membuatnya lupa tentang hal yang pernah ia tanyakan pada Bu Zahra,
kesehatannya. Kiya tak pernah ambil pusing mengapa ia harus minum obat setiap
hari. Ia senang karena hidup dengan perhatian orang-orang yang memang ia
butuhkan keberadaannya. Tapi, hari ini, ditatapnya obat yang ada di dalam
tasnya. Rasa penasaran kemballi hadir dalam benaknya. Kiya memutuskan untuk
membuang obat itu dan tidak meminumnya lalu pulang.
Hari ini Kiya tidak pulang
bersama Bu Zahra karena ia ada kelas tambahan untuk menghadapi ujian akhir. Bu
Zahra sudah menantinya di rumah. “Assalammu’alaikum…” Kiya mengucapkan salam
dari depan rumah. “Wa’alaikumsalam…” jawab Bu Zahra sambil membukakan pintu
untuk Zakiyah. “Alhamdulillah kamu sudah pulang, nak. Ibu sudah sejak tadi
menunggumu.” Bu Zahra merangkul pundak Kiya dan mereka berjalan bersama menuju
ruang keluarga.
“Ada apa, Bu? Kok tumben Ibu
menunggu Kiya pulang?” Tanya Kiya penasaran. “Ah, tidak ada apa-apa kok. Ibu
hanya berusaha menunggu.” Bu Zahra tersenyum simpul. “Kalau begitu, saya ganti
baju dulu ya, Bu.” Kiya meminta izin untuk kembali ke kamarnya.
Saat membuka pintu kamarnya, Kiya
merasakan kepalanya sangat sakit. Tiba-tiba Kiya tak mampu menguasai dirinya.
Ia berusaha untuk tetap berdiri, menjaga keseimbangan untuk sampai ke tempat
tidur. Tapi, belum sempat ia mencapai sisi ranjang, Kiya terjatuh tak sadarkan
diri.
Buk… Bu Zahra
mendengar bunyi sesuatu yang jatuh dari kamar Kiya. Keras sekali. Ia segera
menuju kamar Zakiyah untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya.
“Astaghfirullah… Kiya, bangun nak. Kamu kenapa?” Bu Zahra berusaha
merangkul Kiya di pangkuannya. Darah segar mengalir dari hidung Zakiyah. Ia
mimisan. Wajahnya pucat. Bu Zahra segera menelpon ambulans. Ia sudah bisa
menebak apa yang sebenarnya tejadi pada Zakiyah. Rabbi, hamba mohon, berikan hal yang terbaik untuk gadis ini.
***
Suara sirine mengiringi
perjalanan Kiya dan Bu Zahra ke rumah sakit. Kiya sempat siuman di dalam
ambulans. “Bu, saya kenapa? Kepala saya sakit sekali.” Tanyanya lirih. Kiya
kembali menanyakan perihal keadaan yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya.
Tapi belum sempat ia mendengar jawaban Bu Zahra, Kiya kembali tak sadarkan diri.
***
Kiya kembali berada di ruang
pucat itu. Berbagai alat medis kembali menggerayangi tubuhnya. Ia terbaring tak
berdaya. Bu Zahra hanya bisa berdoa, menanti dari luar dan berharap pada
Kemurahan Hati Sang Pemilik Nyawa. Ia tak dapat membendung airmatanya ketika
meletakkan kepalanya sejajar dengan lutut dan kedua kakinya. Mengenang keadaan yang
sedang terjadi pada Zakiyah, mengingatkan bahwa betapa tak berdayanya manusia
tanpa-Nya. “Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah, aku menghamba pada-Mu, maka
sepantasnyalah aku meminta pada-Mu. Berikan hal yang terbaik bagi kesehatan
Zakiyah.” Doanya.
Sudah lima hari Kiya
terbaring. Tapi sedikitpun ia tak memberikan kesan bahwa ia mulai membaik. Kiya
masih belum siuman juga. Sudah banyak kaki-kaki berlalu. Datang dan pergi
meninggalkan ruangan itu. Hanya untuk melihat kiya kembali mengukir senyum.
Hanya demi Zakiyah Nurmi kembali.
Selama lima hari Kiya hidup di
alam bawah sadar. Ia kembali mengulang mimpinya dan mimpi itu tak sekedar
mengulang, tetapi juga berlanjut. Kiya terus berusaha memasuki pintu-pintu itu.
Tapi ia selalu gagal. Semua ayat yang ia hapal dibacanya. Bu Zahra yang selalu
setia menjaganya selalu memperhatikan mulut Kiya komat-kamit membacakan
sesuatu. Kiya selalu melantukan ayat-ayat alqur’an yang selama ini ia pelajari.
Dalam alam bawah sadarnya pun Kiya bisa melihat hal-hal yang telah terjadi
dalam hidupnya. Ia tau bahwa ia adalah seorang penderita kanker otak.
Kali ini Kiya
melantunkan surat ar-rahman sambil menangis. Ia menangis seperti rengekan
seorang anak pada ibunya untuk dibelikan beberapa permen atau coklat. “fabiayyi alaa irobbikuma tukadzibaan.”
Kiya terus mengulang ayat itu dan menangis tanpa henti. Sesekali ia sesenggukan
karena permintaanya tak diluluskan. Hingga akhirnya ia sadar dari mimpinya itu.
Bu Zahra yang melihat keadaan Kiya terus menerus seperti itu selalu tak mampu menyembunyikan
mutiara yang ada di kelopak matanya.
“Allahu akbar…” Bu Zahra
bertakbir karena Kiya sudah membuka matanya yang basah oleh air mata setelah
empat hari menangis berulang-ulang dalam alam bawah sadarnya. “Alhamdulillah
kamu sudah siuman, Ki.” Bu Zahra menggenggam erat tangan Zakiyah. Dikecupnya
kening Kiya. Kemudian ia berlalu pergi memanggil dokter untuk memeriksa keadaan
Kiya. Tapi, belum sempat ia melangkah keluar, Kiya memanggilnya dan meminta
untuk duduk sebentar di sampingnya. Bu Zahra yang saat itu sedang dilanda rasa
khawatir memutuskan untuk menuruti permintaan Zakiyah. Ia takut permintaan itu
akan menjadi permintaan terakhir dari Kiya. “Bu, Kiya tau apa yang sebenarnya
terjadi. Kiya tau, Kiya tak mungkin bisa sembuh. Kiya sudah tidak sanggup lagi
menahan rasa sakit ini. Biarkan kiya pergi. Kiya ingin kembali ke sana.” Kiya
memaksakan diri untuk berbicara. Suaranya parau. Airmatanya tak berhenti
mengalir. “Kiya tidak boleh berbicara seperti itu, Nak. Kamu pasti bisa sembuh.
Kiya harus percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik.” Bu Zahra mencoba
menghibur Kiya.
“Justru karena ini yang
terbaik, Bu. Kiya harus kembali ke sana. Maukah ibu mengantarkan Kiya?” Kiya
memohon pada Bu Zahra untuk membimbingnya mengucapkan kalimat syahadat. Bu Zahra
tak sanggup membendung isaknya. Ia sesenggukan mendengar permintaan Kiya. Ia
tau, ini akan benar-benar menjadi permintaan terakhir seorang gadis bernama
Zakiyah Nurmi.
“Baiklah, Nak. Jika ini memang
sudah waktunya, Ibu akan mengantarkanmu menuju jalan abadi. Asyhadu anlaa ilaaha ilallah wa asyhadu anna
muhammadarrasulullaah…” Bu Zahra mengucapkan kalimat syahadat dan diikuti
kiya dengan terbata-bata. Airmata mereka sama-sama mengalir. Kiya menutup
matanya setelah selesai bersyahadat. Tak ada lagi udara yang mengalun dari
hidungnya. Tak ada lagi detak jantung di dadanya. Kiya benar-benar pergi dengan
bekal iman di dadanya. Ia pergi dalam keadaan husnul khotimah. Semerbak melati
pun turut menghantarkan kepulangan Kiya pada Sang Khalik. Kiya terlihat manis
meski wajahnya yang pucat itu berhiaskan butir bening dari sudut matanya.
Suasana hening. Hanya Bu Zahra yang terpaku di sana. Sendirian. Mensyukuri
semua yang telah diputuskan Tuhan untuk Zakiyah Nurmi, seorang gadis katholik
yang membawa ilham di akhir hayatnya.
Palembang
Muharram 1432 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar