Halaman

Powered By Blogger

Minggu, 22 Januari 2012

Ilham Akhir Hayat


Teeeet... teeeet... bel masuk berdering keras dari ruang tata usaha sekolah. Kiya tak berusaha bergegas masuk ke kelasnya. Ada hal yang ia ingin tahu sebelum masuk ke kelas. Segera Kiya menuju musholah di sekolahnya untuk mengintip segala aktivitas remaja rohis sekolahnya.
 Dipandanginya lekat-lekat wanita berjilbab berusia 27 tahun yang sedang duduk di samping lemari kitab, Alqur’an dan Hadits, Bu Zahra. Kiyara merasakan hal yang tidak biasa ketika ia memandangi Bu Zahra. Seperti ada sesuatu yang menyihirnya. Didengarnya sayup-sayup Bu Zahra melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an. Terlena, tak ia sadari Lusi menghampirinya.
“Ki, kamu lagi apa di sini?” Lusi memegang pundak Kiyara sambil mengernyitkan dahinya. Ia heran dengan tingkah Kiya yang asik memandangi Bu Zahra. Entah, mungkin Kiya terlalu khusyuk dengan pemandangannya, sehingga pertanyaan Lusi tak ditanggapinya.
“HELLOOO!!! KIYARA MARGARETHA!!!” Pekiknya, sehingga membuat Bu Zahra mengalihkan pandangan ke arah mereka. Kiya melonjak kaget. “Ada apa sih, Ci? Gak usah pake teriak bisa kan?” Kiya berlari meninggalkan Lusi yang akrab ia panggil Uci itu setelah sebelumnya memandang wajah Bu Zahra. Lusi menyusulnya dari belakang. Mereka masuk ke kelas.
Kiya langsung mengambil tasnya dan memutuskan untuk duduk di samping Nurma, seorang gadis muslimah di kelasnya. “Ada apa, Ki?” tanya Nurma sembari melempar senyum pada temannya yang baru saja masuk ke kelas. “Nur, aku boleh nanya gak?” Kiya kembali bertanya pada Nurma. “tentu saja boleh. Ada apa?” timpal Nurma. “Islam itu gimana sih?” tanyanya singkat. Nurma agak terkejut dengan pertanyaan Kiyara. Karena sebenarnya Kiya adalah seorang penganut agama Katholik.
“Ada apa dengan pertanyaanku, Nur?” Kiya kembali bertanya karena Nurma tak segera menjawab. “Oh, gak apa-apa. Saya hanya kaget dengan jenis pertanyaanmu.” Nurma segera menjawab pertanyaan Kiya. “Aku ingin masuk Islam.” Ujarnya singkat pada Nurma. Nurma semakin heran dengan Kiya. Ia tidak serta merta mensyukuri apa yang baru saja ia dengar. Ada apa ini? Apa yang ada dalam pikiran Kiyara sebenarnya? Sungguh-sungguhkah Ia? Atau hanya sekedar bercanda padaku?... Pertanyaan-pertanyaan itu seketika memenuhi pikirannya. Ditatapnya dalam-dalam nanar mata Kiyara.
“Aku serius, Nur. Aku ingin memeluk agama Islam. Aku ingin menganut kepercayaan yang kamu anut. Aku ingin bisa mengenal Tuhanmu. Aku ingin bisa belajar mengaji pada Bu Zahra.” Kiya berbicara panjang, seolah ia bisa menangkap semua pertanyaan yang ada di dalam benak Nurma. Bu Zahra? Apa beliau yang selama ini ingin didekati oleh Kiyara?... Nurma kembali hanyut dalam pertanyaan-pertanyaanya.
“Teman-teman, hari ini Bu Rosmidah sedang berhalangan masuk. Jadi kita hanya diberikan tugas mengarang dan dikumpulkan pada pertemuan berikutnya.” Andika berbicara dari depan kelas menyampaikan informasi yang diamanahkan kepadanya selaku ketua kelas. Kiyara dan Nurma tidak terlalu memperhatikan pengumuman itu. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing.
“Apa kamu bisa membantuku untuk mempelajari Islam, Nur?” Kiya kembali angkat bicara, memecahkan kesunyian antara mereka berdua. “Apa kamu sungguh-sungguh untuk memeluk agamaku, Ki? Bagaimana dengan kedua orangtuamu? Bagaimana jika mereka marah dan menganggapmu sebagai anak yang durhaka? Tentu kamu harus membicarakan hal ini pada mereka.” Nurma kembali bertanya untuk memastikan keputusan temannya itu. “Aku sudah lama membicarakan hal ini pada mereka dan mereka menolaknya. Aku memutuskan untuk berada di jalanku sendiri. Aku akan memilih hidupku sendiri.” Jawabnya lirih. “Kalau begitu, besok datanglah ke rumah Bu Zahra. Dan berpakaianlah seperti caraku berpakaian.” Nurma memegang pundak Kiyara dan berlalu pergi.
***
Hari ini Kiya datang ke rumah Bu Zahra memenuhi rekomendasi Nurma. Di sana sudah ada Nurma, Bu Zahra dan suaminya serta seorang ustad yang akan membimbing Kiya mengucapkan kalimat syahadat dan beberapa tetangga Bu Zahra yang hadir sebagai saksi hari bersejarah itu. Rupanya Nurma sudah menceritakan hal itu pada Bu Zahra dan meminta bantuan Bu Zahra untuk membantu Kiyara. Kiyara terlihat anggun dengan pakaian muslimah serba putih. Tapi ia terlihat agak pucat. Mungkin ia merasa tegang karena sebentar lagi akan meninggalkan agama yang dibaptiskan oleh kedua orangtuanya.
Kiyara duduk di samping Nurma. Ia tampak gelisah. Tangannya dingin. Nurma segera menenangkan Kiya yang sedang gundah. Mereka pergi keluar rumah menuju sebuah masjid yang dekat dengan rumah Bu Zahra. Untuk pertama kalinya, Kiyara merasakan hawa sejuk memasuki Rumah Allah.
Acara di dalam masjid berlangsung khidmat. Bu Zahra, Nurma dan yang lainnya menitikkan airmata bahagia. Terharu dengan kejadian yang baru saja mereka saksikan. Tak terkecuali Kiyara. Ia sesenggukan mengucapkan hamdallah. Di dalam masjid berdengung lafadz hamdallah. Suasana hening. Ustad memberikan sebuah nama yang cantik pada Kiyara, Zakiyah Nurmi. Tak mengubah nama panggilannya, Kiya. Kiya menghampiri Bu Zahra dan menyalaminya. “Selamat ya nak, sekarang kamu mualaf. Belajarlah sungguh-sungguh di agama Allah. Agama yang benar. Semoga Allah mempermudah jalanmu untuk beristiqomah menjadi seorang muslimah.” Bu Zahra memegang kedua pipi Kiya dan mengusap airmata Kiya, lalu dipeluknya gadis itu seperti anaknya sendiri. Kiya beranjak menyalami Nurma seraya berkata, “Nur, terima kasih telah membantuku.” Ia lalu memeluk Nurma seperti saudaranya yang telah lama hilang dan baru ia temukan. Kiya tenggelam dalam pelukan Nurma. Nurma yang sejak tadi tak dilepasnya menyadari hal itu. “Ki, sudahlah, lepaskan saya.” Nurma berusaha melepas pelukan Kiya. Dan ternyata.... “Astagfirullah, Ki. Kiya Bangun, Ukh.” Nurma terkejut. Kiya jatuh pingsan di pangkuannya. Wajahnya pucat sekali. Tangannya semakin dingin. Airmata yang membasahi pipinya menghiasi wajahnya yang anggun terbalut jilbab putih. Kiya segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Beruntung letak rumah sakit tidak terlalu jauh dengan masjid. Hanya butuh waktu selama lima belas menit untuk sampai ke sana.
Bu Zahra dan Nurma menanti cemas di luar ruang ICU . Kiya di dalam sedang diperiksa oleh dokter. Tampak dari luar seorang perawat menusukkan jarum infus pada tangan Kiya. Dan dokter memeriksa detak jantung Kiya. “Ya Allah, jangan Kau Uji anak itu dengan hal yang tidak ia sanggupi.” Lirih Bu Zahra dalam doanya. “Bu, tenanglah. Percayalah semua akan baik-baik saja. Kita doakan saja semoga Zakiyah tidak apa-apa.”Nurma berusaha menenangkan hati Bu Zahra. “amin...” timpal Bu Zahra
Tak lama pintu ruang ICU berderit. Seorang perawat keluar dari ruangan itu. Dan disusul oleh dokter. “Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bu Zahra cemas. “Maaf , Bu. Mari ikut ke ruangan saya. Ada hal serius yang harus saya bicarakan.”Dokter itu menjawab dengan raut wajah yang tegang.
“Begini, Bu. Keadaannya sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang saya lakukan, Zakiyah mengidap penyakit kanker otak stadium tiga.” Dengan raut wajah tegang dokter menyampaikan berita tersebut. “Innalillahi wa innailaihi roji’uun, sebegitu parahkah penyakit yang dideritanya, Dok?” Bu Zahra tampak kaget dan sedih. Baru saja ia melihat Kiya merasakan kebahagiaan. Tapi kini ia tengah di uji oleh Sang Khalik. Ujian yang takkan pernah ia duga sebelumnya.
Bu Zahra tak dapat menahan airmatanya. Ia menangis mengenang Kiya yang sedang terbaring lemah tak berdaya di ruang ICU. Ia masuk ke ruangan itu. Ruang pucat berwarna putih lengkap dengan peralatan medis di tubuh Kiya. Pelan-pelan ia dekati gadis itu. Ditatapnya wajah Zakiyah yang pucat pasi itu. Dalam, semakin dalam ia merasakan jatuh cinta pada gadis itu. Ingin dipeluknya Kiya, tak ingin dilepasnya lagi. Tapi Bu Zahra segera menyadari. Orangtua  Kiya belum mengetahui tentang hal ini. Segera ia merogoh tasnya dan mengambil handphonenya. Ditekannya beberapa nomor, nomor telepon rumah Kiya.
“Halo, dengan siapa saya bicara?” terdengar suara dari seberang. “Saya Bu Zahra, guru Kiya di sekolah. Bisa saya bicara dengan orangtua Kiya?” Bu Zahra menjawab lembut. “Maaf Bu, saya dulu memang orangtua Kiya. Tapi Kiya kami sudah mati. Kami sudah tidak mempunyai anak bernama Kiya lagi. Selamat sore.” Terdengar suara gagang telepon dibanting dari seberang. Ibu Kiya berbicara dengan nada yang tinggi. Ia marah. Belum sempat Bu Zahra mengabarkan berita itu, telepon sudah terputus.
Astaghfirullah... lirih Bu Zahra dalam hati. Kini ia bingung bagaimana dengan Zakiyah. Keluarganya sudah tidak mau menerima Kiya sebagai seorang anak. Hal ini berarti, ia yang harus merawat Kiya. Menemani Kiya melewati hari-hari sulitnya.
Jam menunjukkan pukul 8 malam. “Allah... Allah...” Lirih Kiya yang baru saja siuman. Ia memanggil Allah seolah ia telah lama menjadi seorang muslimah. “Subhanallah, Ki. Alhamdulillah, kamu sudah sadar, nak?” Bu Zahra menutup qur’annya. Ia mendekati Kiya dan menggenggam tangannya. “Bu, Kiya ada di mana? Kepala Kiya sakit sekali.” Kiya memegang kepalanya dan berucap lirih, hampir tak terdengar. “Kamu jangan banyak bicara dulu. Istirahatlah. Biar kamu bisa sehat lagi.” Bu Zahra mengelus pipi Kiya. Dikecupnya kening Kiya dan ia kembali membuka Qur’annya, melanjutkan bacaannya. Kiya kembali hanyut dalam lantunan ayat suci Alqur’an dan kembali tak sadarkan diri.
Dalam alam bawah sadarnya, Kiya berada di suatu tempat yang tak pernah ia lihat sebelumnya di bumi. Tempat yang begitu indah dan sejuk. Tak seindah pemandangan di bumi. Banyak pintu di sana. Seorang wanita memanggilnya dari salah satu pintu. Wanita cantik seperti bidadari. “Assalammu’alaikum... Kiya kemarilah.” Panggilnya dengan senyum yang paling indah yang pernah Kiya lihat. Bau harum melati semerbak mengitari langkah Kiya. Kiya hanya tersenyum pada wanita itu. Ia berusaha mendekati pintu itu, tapi langkahnya terhenti, karena Ia tak bisa masuk ke sana. “Izinkan saya masuk. Saya ingin masuk ke sana. Saya ingin melihat apa yang ada di dalamnya.” Pinta Kiya dengan nada memelas. “Mohonlah pada Tuhanmu. Dia lah Pemilik alam ini.” Pintu itu lalu tertutup. Tapi suara yang Kiya dengar terus berdengung hingga ia kembali siuman setelah dua hari tak sadarkan diri.
“Allahu akbar...” Kiya kembali siuman dan bertakbir. Bau harum melati masih tercium di ruangan itu. Kali ini Nurma yang mendampinginya. “Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Ki.” Nurma meggenggam tangan Kiya. Dan memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Kiya. “Mana Bu Zahra? Saya mau bicara. Saya butuh bantuan Bu Zahra, Nur.” Lirihnya terbata-bata. Wajahnya pucat. Tapi tak memudarkan kecantikan paras Kiya. Bu Zahra sedang tidak di sini. Saya baru saja menggantikan beliau. Bu Zahra kelelahan menjaga kamu dan belum pulang ke rumah. Jadi saya meminta beliau untuk beristirahat di rumahnya.” Nurma menjawab dengan pelan.
Nurma hanyut dalam pikirannya sendiri. Ditatapnya dalam-dalam Zakiyah Nurmi yang sedang lemah tak berdaya. Ya Allah, berikanlah Kiya kesempatan untuk menjalankan perintah-Mu dan beristiqomah di Jalan cinta para pejuang. Doa Kiya dalam hatinya. “Nur, saya ingin sholat.” Kiya memudarkan lamunan Nurma. Nurma tersentak. Subhanallah, dalam keadaan seperti ini pun Kiya berusaha menegakkan ajaran Allah. Tak sedikitpun Ia bergeming dengan semangatnya. Ya Rabb, Berkahi umur Zakiyah… pikirnya dalam hati. “Baiklah, Ki. Mari saya bantu.” Nurma berusaha membantu Kiya untuk bertayamum. Selesai tayamum, Kiya sholat. Ia sholat seperti bukan cara seorang muallaf yang baru belajar islam. Kiya sholat sambil berbaring. Nurma merasa heran. Ia takjub pada Kiya. Sepertinya Kiya sudah lama mempelajari Islam. Pikirnya.
***
Nurma duduk di beranda kamar Kiya yang terletak di Lantai tiga. Di dalam ruang rawat inap Kiya ada Bu Zahra. “Kiya, bagaimana keadaanmu sekarang?” Bu Zahra bertanya dengan lembut. “Saya baik-baik saja, Bu.” Jawab Kiya lemah. Ibu sudah tahu tentang semua yang terjadi dari Nurma. Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal bersama ibu. Kebetulan suami ibu sedang tugas di luar provinsi dalam waktu setengah tahun ini.” Bu Zahra menawarkan bantuan pada Zakiyah. “Ibu sungguh-sungguh ingin mengajak saya tinggal bersama ibu?” Mata kiya bersinar mendengar tawaran Bu Zahra. “Iya, Ibu sungguh-sungguh.” Bu Zahra menjawab singkat dengan senyumnya yang sangat khas.
Tak terasa, waktu sudah berjalan selama sebulan sejak Kiya menjadi seorang mualaf. Keadaannya berangsur pulih. Dokter sudah mengizinkan Kiya pulang. Mimpinya saat itu tak dihiraukannya lagi. Kiya hanya merasakan kebahagiaan yang selama ini belum pernah ia rasakan.  Semua barang-barangnya sudah dibereskan. Sebuah mobil dengan plat nomor BM 2471 RA telah menunggu mereka di depan pintu rumah sakit. Kiya pulang bersama Bu Zahra, tinggal bersama Bu Zahra. Jalanan basah, hari sepertinya tak sebahagia hati Zakiyah. Langit kelabu menandakan hujan masih akan turun. Sepanjang jalan, Kiya memang tak banyak bicara. Meskipun ia senang, tetapi ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Kiya masih belum tahu tentang kesehatan dirinya sendiri. Ia sempat menanyakannya pada Bu Zahra, tetapi Bu Zahra masih ingin merahasiakannya dari Kiya. Bu Zahra yang sejak tadi membaca tafsir hadist menyadari bahwa Kiya sejak tadi hanya diam. Tetapi, belum sempat Bu Zahra bertanya, mobil mereka sudah masuk ke pekarangan rumah Bu Zahra.
“Ayo, Ki. Kita sudah sampai di rumah ibu.” Bu Zahra menyadarkan lamunan Kiya. Kiya dan Bu Zahra turun dari mobil dan masuk ke rumah. Belum sempat mereka masuk, Kiya angkat bicara. “Bu, sebenarnya saya sakit apa?” Pertanyaan yang sangat singkat tetapi cukup membuat Bu Zahra terpaku untuk menjawabnya. Tapi Bu Zahra berhasil mengatasi semua perasaannya terhadap Kiya. “Ayo nak, kita masuk dulu. Kamu pasti sangat lelah.” Bu Zahra berusaha mengalihkan perhatian dari pembicaraan mereka. Untungnya Kiya menuruti semua yang dikatakan oleh Bu Zahra.
“Bu, saya mau sholat. Sekarang sudah masuk waktu zuhur.” Kiya tak merasakan lelah sedikitpun untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah, seorang mualaf. “Baiklah, kamu ikut Ibu. Ibu akan mengantarkan kamu ke kamar yang akan kamu tempati.” Bu Zahra dengan senang hati menyambut keinginan Zakiyah untuk sholat. Mereka sholat berjama’ah. Usai sholat, Bu Zahra meminta Kiya untuk beristirahat. Karena Kiya masih belum boleh terlalu lelah. Kondisi tubuhnya tidak memungkinkan ia beraktivitas terlalu banyak.
***
Hari berlalu begitu cepat. Sebulan sudah Kiya berada di rumah Bu Zahra. Menjalani hari-harinya bersama Bu Zahra, orang yang sangat ia kagumi. Keinginannya untuk belajar sholat dan mengaji pada Bu Zahra tersampaikan. Ia merasa hari-hari yang dilaluinya sangat bahagia. Tidak seperti ketika ia menjadi seorang Katolik. Hatinya jauh lebih tentram, karena Kiya hidup bersama orang-orang yang sangat menyayanginya. Kesehatan Kiya sangat baik. Ia tak menunjukkan sedikitpun gejala dan tanda-tanda bahwa dirinya adalah seorang penderita kanker otak stadium tiga. Hari-harinya kembali seperti biasa. Kiya mulai berkumpul bersama teman-temannya di sekolah. Kini Kiya sudah mengenakan hijab, seperti Nurma. Dan Kiya terlihat cantik dengan dirinya yang sekarang, seorang muslimah.
Kedamaian hati yang ia rasakan membuatnya lupa tentang hal yang pernah ia tanyakan pada Bu Zahra, kesehatannya. Kiya tak pernah ambil pusing mengapa ia harus minum obat setiap hari. Ia senang karena hidup dengan perhatian orang-orang yang memang ia butuhkan keberadaannya. Tapi, hari ini, ditatapnya obat yang ada di dalam tasnya. Rasa penasaran kemballi hadir dalam benaknya. Kiya memutuskan untuk membuang obat itu dan tidak meminumnya lalu pulang.
Hari ini Kiya tidak pulang bersama Bu Zahra karena ia ada kelas tambahan untuk menghadapi ujian akhir. Bu Zahra sudah menantinya di rumah. “Assalammu’alaikum…” Kiya mengucapkan salam dari depan rumah. “Wa’alaikumsalam…” jawab Bu Zahra sambil membukakan pintu untuk Zakiyah. “Alhamdulillah kamu sudah pulang, nak. Ibu sudah sejak tadi menunggumu.” Bu Zahra merangkul pundak Kiya dan mereka berjalan bersama menuju ruang keluarga.
“Ada apa, Bu? Kok tumben Ibu menunggu Kiya pulang?” Tanya Kiya penasaran. “Ah, tidak ada apa-apa kok. Ibu hanya berusaha menunggu.” Bu Zahra tersenyum simpul. “Kalau begitu, saya ganti baju dulu ya, Bu.” Kiya meminta izin untuk kembali ke kamarnya.
Saat membuka pintu kamarnya, Kiya merasakan kepalanya sangat sakit. Tiba-tiba Kiya tak mampu menguasai dirinya. Ia berusaha untuk tetap berdiri, menjaga keseimbangan untuk sampai ke tempat tidur. Tapi, belum sempat ia mencapai sisi ranjang, Kiya terjatuh tak sadarkan diri.
Buk… Bu Zahra mendengar bunyi sesuatu yang jatuh dari kamar Kiya. Keras sekali. Ia segera menuju kamar Zakiyah untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya.
Astaghfirullah… Kiya, bangun nak. Kamu kenapa?” Bu Zahra berusaha merangkul Kiya di pangkuannya. Darah segar mengalir dari hidung Zakiyah. Ia mimisan. Wajahnya pucat. Bu Zahra segera menelpon ambulans. Ia sudah bisa menebak apa yang sebenarnya tejadi pada Zakiyah. Rabbi, hamba mohon, berikan hal yang terbaik untuk gadis ini.
***
Suara sirine mengiringi perjalanan Kiya dan Bu Zahra ke rumah sakit. Kiya sempat siuman di dalam ambulans. “Bu, saya kenapa? Kepala saya sakit sekali.” Tanyanya lirih. Kiya kembali menanyakan perihal keadaan yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya. Tapi belum sempat ia mendengar jawaban Bu Zahra, Kiya kembali tak  sadarkan diri.
***
Kiya kembali berada di ruang pucat itu. Berbagai alat medis kembali menggerayangi tubuhnya. Ia terbaring tak berdaya. Bu Zahra hanya bisa berdoa, menanti dari luar dan berharap pada Kemurahan Hati Sang Pemilik Nyawa. Ia tak dapat membendung airmatanya ketika meletakkan kepalanya sejajar dengan lutut dan kedua kakinya. Mengenang keadaan yang sedang terjadi pada Zakiyah, mengingatkan bahwa betapa tak berdayanya manusia tanpa-Nya. “Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah, aku menghamba pada-Mu, maka sepantasnyalah aku meminta pada-Mu. Berikan hal yang terbaik bagi kesehatan Zakiyah.” Doanya.
Sudah lima hari Kiya terbaring. Tapi sedikitpun ia tak memberikan kesan bahwa ia mulai membaik. Kiya masih belum siuman juga. Sudah banyak kaki-kaki berlalu. Datang dan pergi meninggalkan ruangan itu. Hanya untuk melihat kiya kembali mengukir senyum. Hanya demi Zakiyah Nurmi kembali.
Selama lima hari Kiya hidup di alam bawah sadar. Ia kembali mengulang mimpinya dan mimpi itu tak sekedar mengulang, tetapi juga berlanjut. Kiya terus berusaha memasuki pintu-pintu itu. Tapi ia selalu gagal. Semua ayat yang ia hapal dibacanya. Bu Zahra yang selalu setia menjaganya selalu memperhatikan mulut Kiya komat-kamit membacakan sesuatu. Kiya selalu melantukan ayat-ayat alqur’an yang selama ini ia pelajari. Dalam alam bawah sadarnya pun Kiya bisa melihat hal-hal yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia tau bahwa ia adalah seorang penderita kanker otak.
Kali ini Kiya melantunkan surat ar-rahman sambil menangis. Ia menangis seperti rengekan seorang anak pada ibunya untuk dibelikan beberapa permen atau coklat. “fabiayyi alaa irobbikuma tukadzibaan.” Kiya terus mengulang ayat itu dan menangis tanpa henti. Sesekali ia sesenggukan karena permintaanya tak diluluskan. Hingga akhirnya ia sadar dari mimpinya itu. Bu Zahra yang melihat keadaan Kiya terus menerus seperti itu selalu tak mampu menyembunyikan mutiara yang ada di kelopak matanya.
“Allahu akbar…” Bu Zahra bertakbir karena Kiya sudah membuka matanya yang basah oleh air mata setelah empat hari menangis berulang-ulang dalam alam bawah sadarnya. “Alhamdulillah kamu sudah siuman, Ki.” Bu Zahra menggenggam erat tangan Zakiyah. Dikecupnya kening Kiya. Kemudian ia berlalu pergi memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Kiya. Tapi, belum sempat ia melangkah keluar, Kiya memanggilnya dan meminta untuk duduk sebentar di sampingnya. Bu Zahra yang saat itu sedang dilanda rasa khawatir memutuskan untuk menuruti permintaan Zakiyah. Ia takut permintaan itu akan menjadi permintaan terakhir dari Kiya. “Bu, Kiya tau apa yang sebenarnya terjadi. Kiya tau, Kiya tak mungkin bisa sembuh. Kiya sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakit ini. Biarkan kiya pergi. Kiya ingin kembali ke sana.” Kiya memaksakan diri untuk berbicara. Suaranya parau. Airmatanya tak berhenti mengalir. “Kiya tidak boleh berbicara seperti itu, Nak. Kamu pasti bisa sembuh. Kiya harus percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik.” Bu Zahra mencoba menghibur Kiya.
“Justru karena ini yang terbaik, Bu. Kiya harus kembali ke sana. Maukah ibu mengantarkan Kiya?” Kiya memohon pada Bu Zahra untuk membimbingnya mengucapkan kalimat syahadat. Bu Zahra tak sanggup membendung isaknya. Ia sesenggukan mendengar permintaan Kiya. Ia tau, ini akan benar-benar menjadi permintaan terakhir seorang gadis bernama Zakiyah Nurmi.
“Baiklah, Nak. Jika ini memang sudah waktunya, Ibu akan mengantarkanmu menuju jalan abadi. Asyhadu anlaa ilaaha ilallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullaah…” Bu Zahra mengucapkan kalimat syahadat dan diikuti kiya dengan terbata-bata. Airmata mereka sama-sama mengalir. Kiya menutup matanya setelah selesai bersyahadat. Tak ada lagi udara yang mengalun dari hidungnya. Tak ada lagi detak jantung di dadanya. Kiya benar-benar pergi dengan bekal iman di dadanya. Ia pergi dalam keadaan husnul khotimah. Semerbak melati pun turut menghantarkan kepulangan Kiya pada Sang Khalik. Kiya terlihat manis meski wajahnya yang pucat itu berhiaskan butir bening dari sudut matanya. Suasana hening. Hanya Bu Zahra yang terpaku di sana. Sendirian. Mensyukuri semua yang telah diputuskan Tuhan untuk Zakiyah Nurmi, seorang gadis katholik yang membawa ilham di akhir hayatnya.
Palembang
Muharram 1432 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar